JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa seorang presiden boleh berkampanye atau memihak asalkan tidak menggunakan fasilitas negara terus menuai kritikan.
Kali ini, kritikan disampaikan oleh Para Pembelajar dan Pegiat Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang bergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS). CALS menilai pernyataan Jokowi yang seakan memberi landasan hukum bagi sesuatu yang sebenarnya tidak etik dan melanggar asas keadilan dalam pemilu sesungguhnya juga merupakan tindakan inkonstitusional karena melanggar asas pemilu yang diatur dalam Pasal 22E UUD 1945.
“Mestinya, sebagai presiden, Jokowi harus membiarkan semua berproses sesuai aturan main yang ada, tanpa perlu membuat pernyataan yang membenarkan perilaku yang melanggar etik dan hukum,” bunyi pernyataan CALS yang terdiri dari Yance Arizona, Beni Kurnia Illahi, dan Bivitri Susanti dikutip Kamis (25/1/2024).
CALS menyampaikan bahwa seharusnya biarkan lembaga-lembaga yang berwenang menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang.
“Presiden tidak patut membuatkan justifikasi apa pun, termasuk bagi dirinya sendiri,” tuturnya.
CALS mengingatkan bahwa kepatutan atau perbuatan yang tercela yang dilakukan oleh presiden berbeda dengan yang dilakukan oleh warga negara biasa.
“Presiden (dan semua pejabat negara) harus diletakkan dalam konteks jabatannya. Sikap yang ditunjukkan oleh Presiden Jokowi tidak sesuai dengan tujuan pendidikan politik yang bertanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 267 ayat (2) UU Pemilu,” imbuhnya.
Selain itu, pernyataan Jokowi yang menyebut bahwa presiden berhak berkampanye dalam pemilihan umum itu bertentangan dengan pernyataan-pernyataan Jokowi sebelumnya yang menyatakan akan netral dan meminta seluruh jajarannya netral. Perubahan sikap tersebut dinilai membuktikan dengan semakin jelas betapa pentingnya larangan politik dinasti dan nepotisme dalam pemilihan umum.
CALS menilai tak mudah bagi Jokowi untuk netral ketika anaknya berlaga dalam pemilihan presiden.
“Padahal harus disadari, seluruh pejabat negara melanggar prinsip keadilan dalam pemilu kita berasaskan Langsung Umum Bebas Rahasia, Jujur, dan Adil (Pasal 22E UUD 1945) bila aktif berkampanye, karena pejabat negara (presiden, menteri, kepala-kepala daerah), akan bisa mempengaruhi keadilan pemilu melalui dua hal,” ujarnya.
Pertama, fasilitas, seperti kebijakan, anggaran, dan dukungan administrasi serta protokoler pejabat. Kedua, pengaruh sebagai pemegang kekuasaan akan memengaruhi netralitas birokrasi dan mengarahkan pemilih. CALS berpendapat, keberpihakan presiden dan pejabat negara lainnya bisa mengarah pada pelanggaran dengan dimensi Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
“Perlu dibedakan antara berpolitik dan berkampanye. Presiden berhak berpolitik, tetapi ia tidak diperbolehkan untuk berkampanye. Kita bisa berdebat pada bunyi norma pasal-pasal dalam pemilu, namun UU Pemilu harus pertama-tama diletakkan dalam konteks asas-asas pemilu dalam UUD 1945 yaitu Luber Jurdil dengan penekanan pada aspek keadilan,” jelasnya.
Mereka mengakui UU Pemilu mengandung banyak kelemahan. Karena selain proses legislasi mengandung kepentingan politik, norma hukum juga akan dibuat berdasarkan kasus empirik.
“Sedangkan nepotisme dan politik dinasti yang demikian parah serta cawe-cawe politik yang dilakukan tanpa etik dan rasa malu, baru terjadi pada masa pemerintahan Jokowi. Karena itu, pasal-pasal itu memang belum mengantisipasi situasi presiden yang ingin berkampanye untuk kepentingan anaknya,” tuturnya.
CALS mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut pernyataannya tentang kebolehan berkampanye dan memperhatikan kepatutan dalam semua tindakan dan ucapannya, dengan mengingat kapasitas jabatannya sebagai presiden. Presiden Jokowi juga didesak untuk menghentikan semua tindakan jabatan dirinya maupun menteri-menterinya, yang telah dilakukan selama ini yang berdampak menguntungkan pasangan calon presiden.
Selain itu, CALS mendesak Bawaslu menjalankan tugasnya dengan baik dan bersiap-siap untuk menelaah dan memperjelas indikasi kecurangan yang bersifat TSM untuk mengantisipasi sengketa pemilu dan sengketa hasil pemilihan umum.
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi (MK) didesak mulai melakukan telaah mengenai perannya dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilu nanti, dalam kaitannya dengan kecurangan yang bersifat TSM, dengan melihat konteks penyalahgunaan jabatan (berikut kebijakan dan anggaran) yang semakin terlihat indikasinya pada Pemilu 2024 ini.
Selanjutnya, CALS mendesak DPR RI mengajukan hak interpelasi dan hak angket kepada Presiden untuk menginvestigasi keterlibatan Presiden dan penggunaan kekuasaan Presiden dalam pemenangan salah satu kandidat pada Pemilu 2024.
Terakhir, CALS mendesak seluruh penyelenggara negara (presiden, menteri, gubernur, bupati, wali kota) untuk tidak berlindung di balik pasal-pasal dan mengesampingkan etik.
“Mundur dari jabatan jauh lebih etis dan terhormat dalam situasi politik yang sangat tidak demokratis hari-hati ini,” pungkasnya.