Majalahukum.com – Proses penyelidikan di kepolisian Indonesia melibatkan serangkaian tahapan yang ditetapkan oleh hukum dan regulasi yang berlaku.
Berikut adalah tahapan-tahapan umum yang biasanya dilakukan dalam proses penyelidikan di kepolisian Indonesia:
- Penerimaan Laporan: Penyelidikan dimulai dengan penerimaan laporan dari korban atau pihak yang terkait. Laporan ini dapat berupa pengaduan, pelaporan kejadian kriminal, atau informasi yang relevan dengan tindak pidana.
Penerimaan laporan polisi diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Indonesia Pasal 184 KUHP yang berbunyi, “Setiap perwira polisi yang berhubungan dengan penegakan hukum dan setiap kepala kepolisian yang menerima laporan akan suatu kejahatan wajib membuat daftar mengenai laporan itu dan menempelkan tembusan laporannya, jika perlu, pada halaman laporan. Daftar dan tembusan itu harus memuat tanggal, jam, dan nama pelapor, alamat pelapor, judul kasus, dan isi laporan singkat. Laporan itu disimpan dalam berkas yang terpisah.”
Jadi, Pasal 184 KUHP mengatur kewajiban polisi untuk menerima laporan kejahatan dari masyarakat dan mencatatnya dalam daftar laporan yang mencakup informasi seperti tanggal, jam, nama dan alamat pelapor, judul kasus, serta isi laporan singkat.
- Penilaian Awal: Setelah menerima laporan, petugas kepolisian akan melakukan penilaian awal untuk menentukan keabsahan laporan tersebut. Mereka akan mengevaluasi kredibilitas laporan, kepentingan publik, serta kemungkinan adanya tindak pidana.
Penilaian Awal diatur dalam Pasal 184a KUHP yang berbunyi, “Setiap perwira polisi yang berhubungan dengan penegakan hukum dan setiap kepala kepolisian yang menerima laporan akan suatu kejahatan wajib segera melakukan penilaian awal terhadap laporan itu untuk menentukan tindakan yang harus diambil berikutnya.”
Jadi, Pasal 184a KUHP memberikan mandat kepada polisi untuk melakukan penilaian awal terhadap laporan kejahatan yang diterima dengan tujuan menentukan langkah-langkah selanjutnya dalam penanganan kasus tersebut.
- Pengumpulan Informasi: Tahap ini melibatkan pengumpulan informasi terkait dengan tindak pidana yang dilaporkan. Petugas akan melakukan wawancara dengan korban, saksi, dan pihak terkait lainnya. Mereka juga dapat mengumpulkan bukti fisik, rekaman CCTV, dokumen, dan bukti elektronik lainnya.
Pengumpulan Informasi diatur dalam Pasal 184b KUHP yang berbunyi, “Setiap perwira polisi yang berhubungan dengan penegakan hukum dan setiap kepala kepolisian dapat melakukan penyelidikan dengan cara pengumpulan informasi yang diperlukan dengan maksud agar dapat mengungkapkan kejahatan atau untuk menemukan tersangka, saksi atau barang bukti.”
Pasal 184b KUHP memberikan wewenang kepada polisi untuk melakukan penyelidikan dengan cara mengumpulkan informasi yang diperlukan guna mengungkap kejahatan, mencari tersangka, saksi, atau barang bukti. Ini memungkinkan polisi untuk melakukan langkah-langkah investigasi awal dalam rangka mengumpulkan informasi yang relevan untuk proses penyelidikan lebih lanjut.
- Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP): Petugas akan melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara untuk mengumpulkan lebih banyak bukti. Mereka akan mencatat kondisi fisik TKP, mengambil sidik jari, dan mengumpulkan barang bukti lainnya yang dapat mendukung penyelidikan.
Pemeriksaan TKP diatur dalam Pasal 184c KUHP yang berbunyi, “Setiap perwira polisi yang berhubungan dengan penegakan hukum dan setiap kepala kepolisian dapat memeriksa tempat kejadian perkara dengan maksud agar dapat mengumpulkan bukti dan informasi yang diperlukan dalam penyelidikan.”
Pasal 184c KUHP memberikan kewenangan kepada polisi untuk melakukan pemeriksaan langsung di tempat kejadian perkara dengan tujuan mengumpulkan bukti dan informasi yang diperlukan dalam proses penyelidikan. Hal ini memungkinkan polisi untuk melihat langsung situasi di tempat kejadian, mengambil bukti fisik, dan mendapatkan informasi dari saksi-saksi yang berada di lokasi.
- Identifikasi Tersangka: Setelah memiliki cukup bukti dan informasi, petugas akan melakukan identifikasi tersangka atau pelaku yang diduga terlibat dalam tindak pidana. Identifikasi ini dapat dilakukan melalui berbagai metode seperti wawancara, analisis forensik, atau rekaman CCTV.
Identifikasi Tersangka diatur dalam Pasal 184d KUHP yang berbunyi, “Setiap perwira polisi yang berhubungan dengan penegakan hukum dan setiap kepala kepolisian dapat melakukan identifikasi terhadap tersangka dengan maksud agar dapat memperoleh bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka.”
Pasal 184d KUHP memberikan kewenangan kepada polisi untuk melakukan identifikasi terhadap tersangka dengan tujuan memperoleh bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka. Identifikasi ini dapat melibatkan berbagai metode dan prosedur, seperti konfrontasi visual atau konfrontasi fisik, dengan tujuan mengumpulkan bukti yang memadai untuk menentukan apakah tersangka tersebut terlibat dalam tindak pidana yang sedang diselidiki.
Penting untuk dicatat bahwa dalam praktiknya, proses identifikasi tersangka juga diatur oleh peraturan dan prosedur kepolisian yang lebih rinci, selain ketentuan dalam KUHP.
- Pemeriksaan Terhadap Tersangka: Setelah identifikasi tersangka, petugas akan memanggil dan memeriksa tersangka. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengumpulkan bukti lebih lanjut, mendapatkan pengakuan atau keterangan tersangka, serta memperoleh informasi yang dapat menguatkan atau meragukan keterlibatan mereka dalam tindak pidana.
Pemeriksaan Terhadap Tersangka diatur dalam Pasal 185 KUHP yang berbunyi, “Setiap tersangka yang berada dalam penjara dalam penahanan atau dalam keadaan bebas harus diperiksa terlebih dahulu oleh penyidik. Pemeriksaan ini tidak perlu dilakukan jika yang bersangkutan telah diperiksa sebelumnya mengenai peristiwa yang sama atau jika keadaan tidak memungkinkan.”
Pasal 185 KUHP menyebutkan bahwa setiap tersangka yang berada dalam penahanan atau dalam keadaan bebas harus diperiksa terlebih dahulu oleh penyidik. Namun, pemeriksaan tersebut tidak perlu dilakukan jika tersangka tersebut telah diperiksa sebelumnya mengenai peristiwa yang sama atau jika ada alasan kuat yang menghalangi dilakukannya pemeriksaan.
Prosedur pemeriksaan terhadap tersangka secara lebih rinci, termasuk hak tersangka dalam pemeriksaan, diatur oleh undang-undang dan peraturan pelaksanaannya di luar KUHP, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia. KUHAP memberikan ketentuan yang lebih rinci mengenai prosedur pemeriksaan terhadap tersangka, termasuk hak tersangka untuk didampingi oleh penasihat hukum dan hak-hak lain yang relevan.
- Rekonstruksi Kejadian: Jika diperlukan, petugas kepolisian dapat mengatur rekonstruksi kejadian untuk membangun kembali kronologi tindak pidana. Rekonstruksi ini melibatkan tersangka, saksi, dan petugas untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang cara terjadinya kejadian.
Rekonstruksi kejadian tidak secara spesifik diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia.
Namun, dalam praktiknya, rekonstruksi kejadian dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum, termasuk kepolisian, sebagai bagian dari penyelidikan atau penyidikan suatu tindak pidana. Proses dan tata cara pelaksanaan rekonstruksi kejadian umumnya diatur melalui peraturan dan prosedur kepolisian yang terpisah atau dalam undang-undang atau peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan hukum acara pidana, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia.
Dalam konteks KUHAP, beberapa ketentuan yang berkaitan dengan rekonstruksi kejadian dapat ditemukan dalam Pasal 85 dan Pasal 86 KUHAP yang mengatur tentang pemeriksaan di tempat kejadian perkara. Pemeriksaan di tempat kejadian perkara ini dapat mencakup rekonstruksi kejadian, yang dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai bagaimana kejadian berlangsung.
- Pengumpulan Bukti Tambahan: Jika diperlukan, petugas kepolisian akan terus mengumpulkan bukti tambahan untuk memperkuat kasus. Ini termasuk pemeriksaan saksi tambahan, analisis laboratorium, atau kolaborasi dengan ahli forensik.
Pengumpulan bukti tambahan diatur dalam Pasal 184e KUHP yang berbunyi, “Setiap perwira polisi yang berhubungan dengan penegakan hukum dan setiap kepala kepolisian dapat melakukan pengumpulan bukti tambahan dengan maksud agar dapat menguatkan alat bukti yang telah ada atau untuk menemukan alat bukti baru.”
Pasal 184e KUHP memberikan wewenang kepada polisi untuk melakukan pengumpulan bukti tambahan dengan tujuan menguatkan alat bukti yang telah ada atau menemukan alat bukti baru. Hal ini dapat mencakup langkah-langkah seperti wawancara tambahan dengan saksi, pemeriksaan laboratorium, analisis forensik, atau pengumpulan informasi atau dokumen yang relevan.
Namun, perlu dicatat bahwa proses pengumpulan bukti tambahan juga diatur oleh undang-undang dan peraturan pelaksanaannya di luar KUHP, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia.
- Penyusunan Berita Acara: Setelah semua tahapan penyelidikan selesai, petugas akan menyusun berita acara penyelidikan yang berisi rangkuman lengkap dari hasil penyelidikan, bukti yang terkumpul, dan kesimpulan yang didapatkan.
Penyusunan berita acara tidak secara spesifik diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia.
Proses penyusunan berita acara umumnya diatur melalui peraturan dan prosedur kepolisian yang terpisah atau dalam undang-undang atau peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan hukum acara pidana, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia.
Dalam konteks KUHAP, beberapa ketentuan yang berkaitan dengan penyusunan berita acara dapat ditemukan dalam Pasal 110 hingga Pasal 115 KUHAP yang mengatur tentang penyidikan. Ketentuan-ketentuan ini menyebutkan tugas dan kewajiban penyidik dalam mengadakan dan menyusun berita acara penyidikan.
- Penyerahan Kejaksaan: Setelah penyelidikan selesai, berita acara penyelidikan diserahkan kejaksaan untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan lebih lanjut atau diproses dalam sistem peradilan pidana.
Penyerakahan Kejaksaan diatur dalam Pasal 131 KUHP yang berbunyi, “Pemeriksaan dan penuntutan dalam perkara pidana, kecuali yang diatur dalam Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), dan Pasal 16, adalah kewajiban dari kejaksaan.”
Pasal 131 KUHP menegaskan bahwa pemeriksaan dan penuntutan dalam perkara pidana adalah kewajiban dari kejaksaan. Dalam konteks ini, setelah proses penyelidikan oleh kepolisian selesai, kepolisian wajib menyerahkan perkara tersebut kepada kejaksaan agar kejaksaan dapat melanjutkan proses hukum selanjutnya, termasuk penuntutan di pengadilan.
Tahapan di atas tersebut dapat bervariasi tergantung pada jenis tindak pidana, tingkat kompleksitas kasus, dan perubahan yang mungkin terjadi dalam proses hukum.
Selain itu, kepolisian juga harus mengikuti prinsip-prinsip hak asasi manusia, keadilan, dan ketentuan hukum yang berlaku dalam menjalankan proses penyelidikan.