Beranda Perkara Komnas HAM : Kasus Gagal Ginjal Akut Telah Melanggar HAM

Komnas HAM : Kasus Gagal Ginjal Akut Telah Melanggar HAM

Komnas HAM : Kasus Gagal Ginjal Akut Telah Melanggar HAM -- Doc.Antar Foto/Sumber

JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) yang menyebabkan kematian pada ratusan anak Indonesia telah melanggar hak asasi manusia (HAM).

“Terdapat sejumlah pelanggaran hak asasi manusia atas kasus Gangguan Ginjal Progresif Atipikal (GGAPA) pada anak di Indonesia,” bunyi salah satu poin kesimpulan penyelidikan Komnas HAM diterbitkan Sabtu (11/03/2023).

Pelanggaran HAM atas kasus ini di antaranya hak untuk hidup, hak kesehatan, hak memperoleh keadilan, hak atas kesejahteraan, hak atas jaminan sosial, hak atas informasi, hak konsumen dan pelanggaran terhadap prinsip bisnis dan hak asasi manusia.

Komnas HAM menemukan total 326 kasus GGAPA pada anak di Indonesia sepanjang tahun 2022 sampai pada 5 Februari 2023 di 27 Provinsi di Indonesia.

Mereka juga mengatakan GGAPA yang terjadi pada anak di Indonesia disebabkan keracunan senyawa EG/DEG dalam produk obat sirop.

Komnas HAM juga menyoroti kurang dan lambatnya informasi publik terkait munculnya kasus GGAPA ini. Terlebih lagi, mereka menilai terdapat hambatan dalam proses penegakan hukum.

“Proses pengawasan sistem kefarmasian (produksi dan distribusi obat) tidak dilakukan secara efektif dan koordinasi yang buruk antar lembaga otoritatif dan industri dalam sistem pelayanan kesehatan dan kefarmasian,” bunyi temuan Komnas HAM.

Komnas HAM juga menyimpulkan pemerintah dianggap tidak transparan dan tanggap dalam proses penanganan kasus GGAPA di Indonesia.

“Terutama dalam memberikan informasi yang tepat dan cepat kepada publik dalam rangka meningkatkan kewaspadaan serta meminimalisir/mencegah bertambahnya korban,” bunyi salah satu poin kesimpulan Komnas HAM.

Komnas HAM juga berkesimpulan adanya kesengajaan mengubah bahan baku tambahan obat yang tidak sesuai label dan peruntukannya. Sehingga menyebabkan keracunan disertai kematian terhadap ratusan anak oleh industri farmasi.

“Ini merupakan perbuatan melawan hukum atau tindak pidana,” ujar Komnas HAM.

Dari sisi pengawasan, Komnas HAM berpendapat kebijakan dan tindakan pengawasan terhadap sistem kefarmasian (produksi dan peredaran obat) tidak dilakukan secara efektif oleh pemerintah.

Hal ini kemudian menyebabkan keracunan disertai kematian dan dampak lanjutan terhadap ratusan anak-anak.

“Tata kelola kelembagaan dan koordinasi antar instansi pemerintah yang memiliki otoritas dalam pelayanan kesehatan dan pengawasan obat dalam penanganan kasus GGAPA tidak efektif dan belum maksimal serta tidak memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak,” bunyi salah satu kesimpulan Komnas HAM.

Melihat itu, Komnas HAM memberikan rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo mengakui bahwa negara telah melakukan pembiaran atau tindakan tindak efektif atas kasus ini.

“Mengakui bahwa negara melakukan pembiaran (tindakan tindak efektif) sehingga mengakibatkan hilangnya hak untuk hidup dan hak atas kesehatan bagi setidaknya 326 anak di Indonesia,” bunyi salah satu poin rekomendasi Komnas HAM.

Komnas HAM juga merekomendasikan adanya regulasi khusus mengatur tentang sistem kefarmasian di Indonesia (RUU Kefarmasian).

Mereka juga merekomendasikan perubahan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, salah satunya terkait penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB).

“Salah satu substansi penting yaitu belum adanya pengaturan terkait kondisi darurat kesehatan yang diakibatkan oleh penyakit tidak menular sebagai KLB,”ujar Komnas HAM.