JAKARTA – Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 2/2022. Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) memberikan catatan atas penerbitan Perppu Cipta Kerja itu.
Retno Widiastuti selaku Peneliti PSHK UII mengatakan, lahirnya Perppu 2/2022 tidak bisa dilepaskan dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVII/2020 tentang Cipta Kerja dengan Putusan Inkonstitusional Bersyarat. Yang mana, tegas memberikan tugas.
Kepada pembentuk UU baik DPR maupun pemerintah untuk melakukan perbaikan kepada UU Cipta Kerja selama jangka waktu dua tahun. Pilihan kebijakan perubahan UU Cipta Kerja memakai Perppu setidaknya membangkangi tiga amanat dalam putusan MK.
Pertama ketiadaan partisipasi masyarakat yang disediakan dalam legislasi perppu. Ia menerangkan, perppu bukan peraturan perundang-undangan yang memiliki mekanisme legislasi yang sama dengan UU yang menyediakan mekanisme partisipasi yang luas.
“Penerbitan perppu merupakan intrik hukum jahat yang digunakan pemerintah untuk menggugurkan status inkonstitusional bersyarat yang disematkan pada UU Ciptaker. Perppu menutup ruang pengujian formil kesediaan partisipasi masyarakat di MK,” ujar Retno, Jumat (06/1/2023).
Perppu 2/2022 turut dibentuk menggunakan metode omnibus, membuat materi baru, mengubah atau mencabut materi muatan yang ada di UU lain. Penggunaan metode ini dalam penyusunan perppu telah diatur secara tegas dalam UU Nomor 13 Tahun 2022.
Penggunaan metode omnibus dengan bentuk perppu telah melanggar Pasal 42 UU P3 karena pemakaian metode ini haruslah ditetapkan terlebih dulu dalam dokumen perencanaan. Sedangkan, produk hukum perppu menyimpangi tahapan tersebut.
Pembentukan perppu harus dilandasi hal ihwal kegentingan memaksa. MK melalui Putusan 138/OUU-VII/2009 memberi penafsiran hal ihwal kegentingan memaksa harus memenuhi tiga unsur. Antara lain kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum.
UU yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU tapi tidak memadai. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu cukup lama.
“Sedangkan, keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan,” lanjut Retno.
Rahmadina Bella Mahmuda selaku Peneliti PSHK UII mengatakan, dari tiga unsur tersebut tidak ada yang bisa dijadikan sebagai alasan pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja. Mengingat, waktu perbaikan UU Cipta Kerja masih menyisakan satu tahun.
Tepatnya, sampai akhir November 2023 dan dukungan masyarakat untuk turut serta berpartisipasi. Hal ini berarti perubahan UU Cipta Kerja secara konstitusional dan tata asas pembentukan peraturan perundang-undangan masih dapat dilakukan.
Terhadap beberapa catatan tersebut, PSHK FH UII merekomendasikan presiden untuk segera mencabut Perppu Nomor 2 Tahun 2022 karenanya prosesnya inkonstitusional. Tidak sesuai konsep perundang-undangan dan tidak memenuhi kegentingan memaksa.
“Kepada DPR agar menolak untuk menyetujui Perppu yang diajukan oleh pemerintah dan bersama-sama pemerintah membuat dan memberikan ruang partisipasi bermakna kepada masyarakat dalam memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja,” ujar Rahmadina.
Kemudian, kepada pembentuk undang-undang, minta segera merumuskan indikator kegentingan memaksa sebagai syarat presiden dalam menerbitkan perppu. Dengan merujuk Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 agar tidak digunakan sewenang-wenang.