Pasal 52 PP 35/2021 dan penjelasannya seharusnya batal demi hukum, karena MK telah membatalkan Pasal 158 UU 13/2003 yang bunyinya sama dengan Penjelasannya Pasal 52 ayat (2)PP 35/2021 melalui putusan MK bernomor 012/PUU-I/2003 tertanggal 28 Oktober 2004, dan mengingat hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dimuat dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 52 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 35 Tahun 2021, “Pelanggaran bersifat mendesak yang dapat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama sehingga Pengusaha dapat langsung memutuskan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh, misalnya dalam hal:
- melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik Perusahaan;
- memberikan keterangan palsu atau dipalsukan sehingga merugikan Perusahaan;
- mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
- melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
- menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau Pengusaha di lingkungan kerja;
- membujuk teman sekerja atau Pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
- dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik Perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi Perusahaan;
- dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau Pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
- membongkar atau membocorkan rahasia Perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
- melakukan perbuatan lainnya di lingkungan Perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”
Penjelasan Pasal 52 itu semuanya sama seperti bunyi Pasal 158 Undang Undang Ketenagakerjaan terkait alasan PHK karena kesalahan berat yang sudah dibatalkan MK.
Penjelasan Pasal 52 ayat (2) PP 35/2021 ini mengatur 10 bentuk pelanggaran bersifat mendesak sebagai alasan pengusaha melakukan PHK yang diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB. PP 35/2021 sendiri turunan dari Undang Undang nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan turunannya memberi banyak kemudahan bagi dunia usaha untuk menjalankan bisnisnya. Di bidang ketenagakerjaan, pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan turunan Undang Undang Cipta Kerja, salah satunya Peraturan Pemerintah nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PKWT-PHK).
Beleid ini salah satunya mengatur dalam hal PHK tidak dapat dihindari, pengusaha wajib memberitahukan maksud dan alasan PHK kepada buruh dan/atau serikat buruh apabila yang bersangkutan anggota serikat buruh. Surat pemberitahuan PHK itu dibuat dalam bentuk surat pemberitahuan dan disampaikan secara sah dan patut oleh pengusaha kepada buruh dan atau serikat buruh paling lama 14 hari kerja sebelum PHK. Jika menolak PHK, buruh diberi waktu 7 hari kerja sejak menerima surat pemberitahuan PHK untuk melayangkan surat penolakan disertai alasannya.
Ketentuan ini memberi kemudahan bagi pengusaha untuk melakukan PHK karena sekarang pengusaha tidak perlu melakukan perundingan dengan serikat buruh atau buruh yang bersangkutan dan penetapan pengadilan hubungan industrial (PHI) untuk melakukan PHK.
Sebelumnya, Pasal 151 Undang Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur jika semua upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat buruh atau dengan buruh bila buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat buruh. Jika perundingan itu tidak menghasilkan persetujuan (kesepakatan), pengusaha hanya dapat melakukan PHK setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Selain itu, Peraturan Pemerintah nomor 35 Tahun 2021 memberikan kemudahan lainnya bagi pengusaha dalam melakukan PHK dalam keadaan mendesak. Dalam melakukan PHK dengan alasan mendesak, pengusaha tidak perlu lagi memberikan surat pemberitahuan PHK kepada buruh karena bisa langsung mengakhiri hubungan kerja. Secara singkat dapat disimpulkan negara membolehkan pengusaha melakukan PHK tanpa pemberitahuan jika buruh diduga melakukan tindakan yang masuk kategori alasan mendesak sebagai mana diatur dalam perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan (PP)/Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Pasal 52 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 35 Tahun 2021 disebutkan pengusaha dapat melakukan PHK terhadap buruh karena alasan buruh melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang diatur dalam perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB), maka buruh berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4) dan uang pisah yang besarannya diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB.
“Pengusaha dapat melakukan PHK sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tanpa pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2),” demikian bunyi Pasal 52 ayat (3) Peraturan Pemerintah 35/2021 ini.
Bentuk pelanggaran mendesak.
Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (2) 35/2021 ini mengatur 10 bentuk pelanggaran bersifat mendesak sebagai alasan pengusaha melakukan PHK yang diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB. Pertama, melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan. Kedua, memberikan keterangan palsu atau dipalsukan, sehingga merugikan perusahaan.
Ketiga, mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja. Keempat, melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja. Kelima, menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja. Keenam, membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Ketujuh, dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Delapan, dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja. Sembilan, membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan, kecuali untuk kepentingan negara. Sepuluh, melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Bentuk pelanggaran yang bersifat mendesak sebagaimana dijabarkan dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 35 Tahun 2021 itu sama seperti bunyi Pasal 158 Undang Undang Ketenagakerjaan yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui putusan MK bernomor 012/PUU-I/2003 tertanggal 28 Oktober 2004, MK menyatakan Pasal 158 Undang Undang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Peraturan Pemerintah nomor 35 Tahun 2021 ini membangkitkan kembali Pasal 158 Undang Undang Ketenagakerjaan yang sudah dibatalkan MK.
Meski ketentuan PHK dengan alasan mendesak itu sangat memberi kemudahan bagi pengusaha untuk melakukan PHK tanpa pemberitahuan dan hanya memberi kompensasi berupa uang penggantian hak dan uang pisah, tapi Sugeng mengingatkan agar pengusaha mengaturnya dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB sebagaimana mandat Peraturan Pemerintah nomor 35 Tahun 2021. Peraturan Pemerintah nomor 35 Tahun 2021 menyebut pelanggaran bersifat mendesak itu harus diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB.
Untuk diketahui, awalnya Pasal 158 Undang Undang nomor 13/2003 memberikan kewenangan pada pengusaha untuk mem-PHK langsung buruh yang diduga telah melakukan kesalahan berat yang umumnya terkait kesalahan berunsur pidana. Tapi, lewat putusan MK nomor 012/PPU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 silam, MK menyatakan Pasal 158 Undang Undang Ketenagakerjaan bersama beberapa pasal lainnya tidak berlaku.
Tak lama kemudian, Depnakertrans menerbitkan Surat Edaran (SE) Menakertrans nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi atas Hak Uji Materiil Undang Undang nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945. Surat Edaran Menakertrans ini mempertegas putusan MK yang menetapkan bahwa pengusaha tidak dapat seenaknya mem-PHK pekerja/buruh yang sedang ditahan karena diduga melakukan kesalahan berat.
Dalam Butir 3 huruf a SE Menakertrans nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 ini ditegaskan bahwa pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat, maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Terbitnya SE Menakertrans ini juga merupakan respons atas kekhawatiran kalangan pengusaha mengenai kewajiban membayar upah kepada pekerja/buruhnya yang ditahan karena diduga melakukan pidana. Dalam butir butir 3 huruf b SE Menakertrans tersebut, ditetapkan apabila pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya, maka berlaku ketentuan Pasal 160 Undang Undang 13 tahun 2003.
Pasal 52 PP 35/2021 dan Penjelasannya seharusnya batal demi hukum, mengingat hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dimuat dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Adapun bunyi UU tersebut yaitu: “Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, (3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), (4) Peraturan Pemerintah, (5) Peraturan Presiden, (6) Peraturan Daerah Provinsi dan (7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pasalnya, MK telah membatalkan Pasal 158 UU 13/2003 yang bunyinya sama dengan Penjelasannya Pasal 52 ayat (2)PP 35/2021 melalui putusan MK bernomor 012/PUU-I/2003 tertanggal 28 Oktober 2004. (Bernard Simamora, S.Si., S.IP., SH, MH, MM; advokat pada Kantor Hukum BS&R)