Beranda Klinik Hukum Bagaimana Menyusun Bantahan Dalam Jawaban Gugatan

Bagaimana Menyusun Bantahan Dalam Jawaban Gugatan

Bernard Simamora, S.Si, S.IP, SH, MH, MM; advokat pada Kantor hukum BS&R

Menjadi tergugat di Pengadilan, maka Tergugat berhak mengajukan Jawaban Gugatan. Lalu, bagaimana tata cara membuat jawaban suatu gugatan, apa saja yang dimasukkan di dalam eksepsi dan apa saja yang dimasukkan di dalam pokok perkara? Pada dasarnya jawaban bukanlah suatu kewajiban yang harus diberikan oleh Tergugat di dalam persidangan. Melainkan adalah hak Tergugat untuk membantah dalil-dalil yang Penggugat sampaikan di surat gugatannya.

Jawaban terhadap surat gugatan dibuat dengan tertulis, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 121 ayat (2) Herzien Inlandsch Reglement (HIR) yang berbunyi: “ketika memanggil yang digugat, maka sejalan dengan itu hendak diserahkan juga sehelai salinan surat tuntutan, dengan memberitahukan kepadanya bahwa ia kalau mau boleh menjawab tuntutan itu dengan surat”.

Jawaban Gugatan diberikan oleh Tergugat kepada Majelis Hakim dan Penggugat biasanya dilakukan pada sidang pertama setelah gagalnya proses mediasi yang difasilitasi oleh pengadilan. Namun apabila Tergugat belum siap, maka Majelis Hakim akan memberikan kesempatan pada sidang berikutnya untuk menyerahkan jawaban tersebut.

Dalam buku M. Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, 2013, Sinar Grafika: Jakarta, halaman 464 dijelaskan, isi dari jawaban tersebut tidak hanya berisi bantahan terhadap pokok perkara, namun Tergugat juga boleh dan dibenarkan memberi jawaban yang berisi pengakuan (confession), terhadap sebagian atau seluruh dalil gugatan Penggugat.

Selain itu, jawaban yang disampaikan oleh Tergugat dapat sekaligus memuat eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara. Jika jawaban sudah memuat eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara, Tergugat harus menjawab secara sistematis agar lebih mudah dibaca dan dipahami oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut.

Menurut M. Yahya Harahap (2003:267), cara yang dianggap sesuai dengan tuntutan teknis peradilan, dalam hal jawaban sekaligus berisi eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara, yaitu:

  1. Mendahulukan eksepsi pada bagian depan. Dalam jawaban dibuat suatu judul “Dalam Eksepsi” yang ditempatkan pada bagian depan mendahului uraian bantahan pokok perkara.
  2. Menyusul kemudian, uraian bantahan pokok perkara dengan judul “Dalam Pokok Perkara”.
  3. Bagian terakhir, berupa kesimpulan yang berisi pernyataan singkat eksepsi dan bantahan pokok perkara.

Eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara di dalam konteks hukum acara memiliki makna yang sama yaitu sebuah tangkisan atau bantahan (objection). Eksepsi khusus ditujukan terhadap hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan, yaitu jika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah yang karenanya gugatan tidak dapat diterima (inadmissible). Dalam hal ini, rujukannya adalah HIR (Herzien Inlandsch Reglement) atau Hukum Acara Perdata yang berlaku.

Bantahan dalam pokok perkara adalah bantahan yang dilakukan oleh Tergugat yang menyinggung mengenai pokok perkara atau pembuktian mengenai benar atau tidaknya dalil yang diajukan oleh Penggugat dalam surat gugatannya. Meski demikian, eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara di dalam konteks hukum acara memiliki makna yang sama yaitu sebuah tangkisan atau bantahan (objection). Namun, di dalam eksepsi ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan, yaitu jika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah yang karenanya gugatan tidak dapat diterima (inadmissible). Untuk lebih memudahkan, eksepsi sendiri dibagi menjadi tiga jenis yaitu, Eksepsi Prosesual, Eksepsi Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi dan Eksepsi Hukum Materil.

Eksepsi Prosesual adalah jenis eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan. Apabila gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan tidak sah, dengan demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvantkelijke verklaard). Contohnya adalah eksepsi kewenangan absolut dan eksepsi kewenangan relatif.

Eksepsi kewenangan absolut adalah bantahan Tergugat mengenai Penggugat dinilai salah mendaftarkan gugatannya di pengadilan yang tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. Ini berkaitan dengan pembagian lingkungan peradilan dan peradilan khusus. Misalnya dalam kasus mengenai sengketa pembagian warisan orang yang beragama Islam yang diajukan ke pengadilan negeri (peradilan umum). Tergugat mengajukan eksepsi bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara warisan bagi yang beragama Islam sebab itu berada dalam yurisdiksi pengadilan agama.

Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan kapanpun selama proses pemeriksaan dimulai sampai dengan sebelum putusan dijatuhkan pada tingkat pertama (PN), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 HIR yang berbunyi: “Jika perselisihan itu adalah suatu perkara yang tidak masuk kuasa pengadilan negeri, maka pada sebarang waktu dalam pemeriksaan perkara itu, boleh diminta supaya hakim mengaku dirinya tidak berkuasa dan hakim itupun wajib pula mengaku karena jabatannya bahwa ia tidak berkuasa”.

Sedangkan eksepsi kewenangan relatif adalah bantahan Tergugat yang menyatakan Penggugat salah mendaftarkan gugatannya di pengadilan yang tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan, tetapi yang berwenang adalah pengadilan lain dalam lingkungan pengadilan yang sama, misalnya Tergugat dalam hal ini berdomisli di Jakarta Selatan, namun gugatan diajukan di Pengadilan Jakarta Pusat, yang seharusnya gugatan tersebut diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Berbeda dengan eksepsi kewenangan absolut, eksepsi kewenangan relatif hanya dapat diajukan di sidang pertama dan bersamaan dengan saat mengajukan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 HIR yang berbunyi: “Jika orang yang digugat dipanggil menghadap pengadilan negeri, sedang menurut peraturan pada Pasal 118 ia tidak usah menghadap pengadilan negeri itu, maka bolehlah ia meminta hakim supaya menerangkan bahwa hakim tidak berkuasa, asal saja permintaan itu dimasukan dengan segera pada permulaan persidangan pertama; permintaan itu tidak akan diperhatikan lagi jika orang yang digugat telah melahirkan suatu perlawanan lain”.

Selanjutnya, Eksepsi Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi terdiri dari beberapa bentuk yaitu Eksepsi Surat Kuasa Khusus tidak sah, Eksepsi Error in Persona, Eksepsi Ne Bis In Idem, dan Eksepsi Obscuur Libel:

  1. Eksepsi Surat Kuasa Khusus tidak sah adalah eksepsi yang diajukan oleh Tergugat dalam hal surat kuasa bersifat umum; surat kuasa dibuat orang yang tidak berwenang atau surat kuasa yang diajukan oleh kuasa Penggugat tidak sah karena tidak memenuhi syarat formil yang diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR dan SEMA Nomor 1 Tahun 1971 jo Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 6 Tahun 1994, yaitu:
  2. Tidak menyatakan secara spesifik kehendak untuk berperkara di PN tertentu sesuai dengan kompetensi relatif;
  3. Tidak menjelaskan identitas para pihak yang berperkara;
  4. Tidak menyebutkan secara ringkas dan konkret pokok perkara dan objek yang diperkarakan; serta
  5. Tidak mencantumkan tanggal serta tanda tangan pemberi kuasa.
  6. Eksepsi error in persona adalah eksepsi yang dilakukan oleh Tergugat dalam hal Penggugat tidak memiliki kapasitas atau hak untuk mengajukan perkara tersebut, atau pihak yang digugat adalah tidak memiliki urusan dengan perkara tersebut, atau pihak yang digugat tidak lengkap.
  7. Eksepsi ne bis in idem adalah eksepsi yang diajukan oleh Tergugat dalam hal perkara yang digugat oleh Penggugat sudah pernah diajukan dan sudah dijatuhkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.
  8. Eksepsi Obscuur Libel, yaitu eksepsi yang diajukan oleh Tergugat dalam hal gugatan Penggugat tidak terang atau isinya tidak jelas, contohnya tidak jelas dasar hukumnya, tidak jelas obyek sengketanya, petitum tidak rinci dijabarkan dan permasalahan antara posita wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.

Selanjutnya, dalam jawaban disertakan Eksepsi Hukum Materil. Eksepsi hukum materil dibagi dalam 2 jenis, yaitu exceptio dilatoria dan exceptio peremptoria:

  1. Exceptio dilatoria yaitu eksepsi yang dilakukan oleh Tergugat dalam hal gugatan penggugat belum dapat diterima untuk diperiksa sengketanya di pengadilan, karena masih prematur, dalam arti gugatan yang diajukan masih terlampau dini. Contohnya belum sampai batas waktu untuk menggugat karena telah dibuat penundaan pembayaran oleh kreditur atau berdasarkan kesepakatan antara kreditur dengan debitur.
  2. Exceptio peremptoria adalah eksepsi yang diajukan oleh Tergugat kepada Penggugat yang dapat menyingkirkan gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan. Contohnya perkara yang diajukan sudah lewat waktu atau daluarsa untuk digugat (exceptio temporis), perjanjian yang dilakukan mengandung unsur penipuan (exceptio doli mali), perjanjian yang dilakukan mengandung unsur paksaan atau dwang (exceptio metus), si penggugat sendiri tidak melakukan prestasinya (exceptio non adimpleti contractus) dan sengketa yang digugat sedang proses pemeriksaan juga di pengadilan dengan nomor perkara yang berbeda (exceptio litis pendentis).

Dapat disimpulkan bahwa dalam jawaban gugatan, banyak sekali hal-hal yang dapat diajukan eksepsi, yaitu hal-hal yang hanya menyinggung soal formalitas gugatan dan sama sekali tidak menyinggung mengenai pokok perkara.

Bantahan Pokok Perkara

Setelah menyinggung soal formalitas gugatan melalui eksepsi, tergugat dapat menyusun bantahan dalam pokok perkara. Bantahan dalam pokok perkara adalah bantahan yang dilakukan oleh Tergugat yang menyinggung mengenai pokok perkara atau pembuktian mengenai benar atau tidaknya dalil yang diajukan oleh Penggugat dalam surat gugatannya.

Di dalam hukum acara tidak secara detail dijelaskan apa saja yang dapat dibantah dalam pokok perkara. Namun bantahan dalam pokok perkara ini dapat ditinjau dari tiga klasifikasi, yaitu pengakuan (disebut juga bekentenis), membantah dalil gugatan dan tidak memberi pengakuan maupun bantahan.

Pengakuan adalah sebuah pernyataan yang dikatakan Tergugat dalam jawabannya bahwa Tergugat mengakui benar adanya dalil yang diajukan oleh Penggugat dalam surat gugatannya. Pengakuan tersebut merupakan alat bukti yang sempurna (disebut juga volledig). Nilai kekuatan pembuktian yang demikian ditegaskan kembali dalam Pasal 174 HIR, yang berbunyi: “Pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim, cukup menjadi bukti untuk memberatkan orang yang mengaku itu, baik pengakuan itu diucapkannya sendiri maupun dengan pertolongan orang lain yang istimewa dikuasakan untuk melakukan itu”

Bantahan Pokok Perkara adalah membantah dalil gugatan atau dapat disebut bantahan terhadap pokok perkara ( disebut juga verweer ten principale). Tergugat dapat melumpuhkan dalil gugatan dengan cara pembuktian berdasarkan alat-alat bukti yang dibenarkan dalam undang-undang. Tergugat dapat juga menampik dan mengingkari kejadian yang didalilkan berdasarkan alasan rasional dan objektif. Namun, bisa saja Tergugat tidak memberi pengakuan maupun bantahan. Jawaban Tergugat dapat saja hanya berisi pernyataan, tidak mengajukan eksepsi atau bantahan, tetapi menyerahkan sepenuhnya pengujian kebenaran gugatan kepada hakim (disebut juga referte aan het oordel des rechters).***