JAKARTA – Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa mengatakan, jadwal pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024 masih menjadi masalah yang harus dibicarakan bersama. Sebab, ia melihat sembilan fraksi yang ada di DPR tak semuanya sepakat untuk mempercepat pilkada dari November ke September.
Saan berkaca pada pengalaman pembahasan jadwal pemilihan umum (Pemilu) 2024, yang pembahasannya memakan waktu hingga setahun lebih. Jika Pilkada 2024 benar dipercepat ke September, tentu harus dipertimbangkan bagaimana beban penyelenggara Pemilu 2024.
“Tentu beban pekerjaan yang begitu besar akan berimplikasi terhadap kualitas, kualitas pemilu maupun pilkada. Kita di DPR juga terbelah,” ujar Saan dalam rapat kerja dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), KPU, Bawaslu, dan DKPP.
Jelasnya, DPR sendiri telah menetapkan revisi Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pilkada), menjadi usul inisiatif DPR. Namun, DPR belum menerima surat presiden (surpres) untuk membahasnya.
Revisi UU Pilkada disebutnya bisa dibahas oleh Komisi II, Badan Legislasi (Baleg), ataupun panitia khusus (pansus). Namun harapannya, ide dipercepatkan Pilkada serentak 2024 ke September harus mempertimbangkan beban kerja dari penyelenggara Pemilu 2024.
“Ini harus menjadi pertimbangan dalam nanti membuat tahapan yang nanti surpresnya turun ke DPR, tetap bahwa ini harus menjadi pertimbangan dan pemikiran tersendiri,” ujar Saan.
Sebagaimana diketahui, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menuturkan, jika Pilkada Serentak 2024 tak dipercepat pemungutan suaranya, akan ada potensi kekosongan kepada daerah di banyak daerah. Sebab kondisi saat ini, terdapat 101 daerah dan empat daerah otonomi baru di Papua yang diisi oleh penjabat kepala daerah sejak 2022.
“Dan terdapat 170 daerah yang diisi oleh penjabat kepala daerah pada 2023. Serta terdapat 270 kepala daerah hasil pemilihan tahun 2020 yang akan berakhir pada 31 Desember 2024,” ujar Tito dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR, Rabu (21/9/2023) malam.
“Berdasarkan data ini, maka terdapat potensi akan terjadi kekosongan kepala daerah pada 1 Januari 2025 dan jika ini terjadi maka pada 1 Januari 2023 terdapat 545 daerah yang berpotensi tidak memiliki kepala daerah definitif,” ujarnya.
Karenanya, pemerintah perlu diambil langkah yang sifatnya strategis dan mendesak untuk menghindari kekosongan kepala daerah tersebut. Terlebih lagi adanya perbedaan kewenangan antara kepala daerah definitif dan penjabat (Pj).
“Di samping tentunya legitimasi yang tentu akan lebih kuat kalau diisi oleh kepala daerah hasil Pilkada,” ujar Tito.