JAKARTA – Jentera Bivitri Susanti seorang pengajar dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) meminta Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman segera membuat aturan pembentukan Majelis Kehormatan yang merupakan amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK.
Bivitri menjelaskan upaya itu harus dilakukan merespons kekisruhan terkait dugaan perubahan substansi putusan perkara nomor: 103/PUU-XX/2022 terkait uji materi UU MK yang membahas pencopotan Hakim Aswanto.
“Langkah yang harus dilakukan adalah langkah administratif dari seorang Ketua MK untuk menyelesaikan kekisruhan ini. Jadi, kalau ada iktikad baik menurut saya MK saja dibentuk. Momentum ini sangat bisa digunakan Ketua MK,” ujar Bivitri dikutip dari YouTube Konstitusionalis Tv, Senin (30/1/2023).
Bivitri menyatakan hal itu demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga MK.
Ia pun memberi catatan terhadap komposisi Majelis Kehormatan MK nantinya yang kini mengharuskan hakim aktif masuk ke dalam tim dan tidak ada unsur dari Komisi Yudisial (KY).
Hal ini berbeda sebelum UU MK direvisi di mana hakim MK tidak aktif bisa mengambil bagian dalam tim Majelis Kehormatan MK.
“Benturan kepentingan luar biasa yaitu hakim aktif. Saya ingin mendorong Ketua MK bisa mengambil terobosan-terobosan hukum untuk menambah unsur, tujuannya untuk kepercayaan masyarakat,” ujar Bivitri.
Sementara itu, Fajar Laksono selaku Juru Bicara MK menyatakan pihaknya tengah mengkaji isu dugaan perubahan substansi putusan perkara nomor: 103/PUU-XX/2022.
“Kami sedang mengkaji isu ini,” ujar Juru Bicara MK Fajar Laksono, melalui pesan tertulis, dikutib dari CNNIndonesia.com.
Dugaan perubahan substansi putusan dimaksud kali pertama diungkapkan oleh penggugat perkara nomor: 103/PUU-XX/2022, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak. Ia menilai perubahan tersebut mempunyai makna yang berbeda.
Terlebih putusan dibacakan MK beberapa jam setelah hakim konstitusi Aswanto diganti dengan Guntur Hamzah yang saat itu merupakan Sekretaris Jenderal MK.
Detail perubahan dimaksud sebagai berikut:
Kalimat yang diucapkan hakim konstitusi Saldi Isra pada 23 November 2022 yaitu:
“Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK….. dan seterusnya.”
Sedangkan yang tertuang dalam salinan putusan di situs MK yaitu:
“Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK….. dan seterusnya.”