JAKARTA – Di tengah wacana mendorong Pengadilan Ad Hoc Lingkungan, Mahkamah Agung (MA) ternyata masih mengalami krisis hakim bersertifikat untuk menangani perkara terkait.
M Syarifuddin selaku Ketua MA mengakui hakim yang bersertifikasi lingkungan masih sedikit. Namun demikian, dia mengklaim akan terus berupaya memperbanyak hakim yang bersertifikasi lingkungan.
“Ini memang perlu lanjutan sertifikasi hakim seperti itu. Karena hukum kan selalu berkembang. Mungkin kita perlu sertifikasi dasar,” ucap Syarifuddin dalam diskusi publik dengan tema Pengaruh Putusan Pengadilan terhadap Pembaruan Hukum Lingkungan Hidup lingkungan, Jakarta, Kamis (26/1/2023).
Hakim Agung Nani Indrawati mengatakan perkara lingkungan seharusnya diadili oleh hakim yang bersertifikat lingkungan. Namun, ia memaparkan setidaknya ada hampir sekitar 3.000 hakim belum mendapat sertifikasi di sektor lingkungan.
“Kita baru menyertifikasi 1.417 dari 4.000 hakim peradilan umum dan hukum. Jadi masih sekitar 3.000 yang belum kita sertifikasi,” ujar Nani.
Selain sertifikasi, Nani juga menilai para hakim harus difasilitasi pelatihan secara berkala. Tujuannya, agar para hakim paham dengan permasalahan lingkungan yang ada.
“Pelatihan harusnya juga berkesinambungan agar terus update dengan permasalahan lingkungan terkini,” ujarnya.
Ditemui di tempat yang sama, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar turut mendorong soal pengadilan ad hoc lingkungan. Siti menyebut usul itu berasal dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
“KLHK dukung. Saya tadi mulai tanya tanya ada arahan arahan juga, dan memang Pak Menko udah mengutarakan juga kemarin di rapat bersama kementerian. Itu idenya dari pak Menko Mahfud,” ujar Siti.
Siti mengatakan KLHK menyerahkan teknis implementasi wacana tersebut ke MA, termasuk untuk rekrutmen Hakim Agung ad hoc lingkungan.
“Kalau saya sih pada dasarnya mendukung. Cuma memang kalau tadi catatan dari MA, pak ketua dan wakil ketua yang kamar ad hoc dan hakim hakim agung, ada cara caranya, secara teknis harus begini begitu,” ujarnya.
Meskipun demikian, Siti mengaku KLHK pernah mendorong adanya pengadilan khusus pemberantasan perusakan hutan beberapa tahun lalu. Namun, pembentukan pengadilan khusus itu ternyata tak semudah yang dibayangkannya.
Dia pun menjadikan preseden tersebut sebagai pembahasan.
“Karena saya juga kan punya pengalaman harus membangun pengadilan pemberantasan perusakan hutan itu tidak mudah. Itu tadi dibahas juga,” ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Raja Juli Antoni mengungkapkan pihaknya juga saat ini tengah mengkaji wacana pembuatan pengadilan ad hoc khusus untuk kasus-kasus agraria.
Menurut Raja, proses pengadilan hukum untuk kasus agraria saat ini memakan waktu yang panjang dan kurang efektif. Dia berkata sistem seperti itu lebih banyak menguntungkan orang yang mempunyai uang.
“Yang bisa kita selesaikan, kita selesaikan. Hal hal yang lebih bersifat struktural ya, jangka panjang, lebih sustain,” kata Raja dalam diskusi Reforma Agraria Menuju Perubahan Politik 2024, Rabu (25/1/2023).
“Termasuk di antaranya ada ide membuat pengadilan ad hoc agraria yang sedang kita coba diskusikan lah,” imbuhnya.