Bilamana Pihak Pengusaha tidak berkenan memenuhi putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang inkracht, selain permohonan eksekusi, langkah hukum apa saja yang dapat ditempuh? Dengan kata lain, Upaya hukum apakah yang dapat dilakukan terhadap putusan PHI untuk mengantisipasi pengusaha yang tetap tidak mau melaksanakan putusan PHI perihal pembayaran pesangon?
Pasal 57 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) telah merumuskan secara tegas bahwa hukum acara yang berlaku di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) adalah hukum acara perdata, kecuali beberapa hal yang diatur secara khusus dalam UU PPHI ini.
Akan tetapi, Undang-Undang PPHI tak mengatur khusus mengenai upaya hukum apa yang dapat dilakukan terhadap putusan PHI yang sudah inkracht. Dengan demikian, maka hal itu dilakukan dengan merujuk pada hukum acara yang berlaku, yaitu permohonan eksekusi yang diatur dalam pasal 195 sampai pasal 208 H I R (Het Herziene Indonesisch Reglemen).
Pasal 195 ayat (1) H I R menyebutkan bahwa tidak ada yang dapat menunda suatu eksekusi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk dilaksanakan, kecuali dengan jalan damai dan pelaksanaan putusan tersebut di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang pada tingkat pertama pemeriksaan perkara tersebut.
Lebih jauh, pasal 196 H I R mengatur tentang pelaksanaan putusan yang diakibatkan dari tindakan tergugat yang enggan secara suka rela melaksanakan isi putusan untuk membayar sejumlah uang, sehingga pihak penggugat sebagai pihak yang dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri agar putusan dapat dijalankan.
Jika permohonan eksekusi sudah dilakukan dan pengusaha tetap tak mau membayarkan pesangon, maka pekerja bisa memohonkan sita eksekutorial atas barang-barang milik pengusaha. Permohonan sita eksekutorial itu tetap diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Setelah semua barang-barang disita, kemudian akan dilelang dimana hasilnya akan digunakan untuk membayarkan kewajiban pengusaha kepada pekerja dan juga biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut.
Namun demikian, selain mengajukan permohonan eksekusi dan sita eksekusi tersebut, dalam praktiknya ada beberapa hal yang bisa diajukan oleh pekerja atas tindakan pengusaha yang tak mau membayarkan pesangon meski sudah ada putusan PHI yang sudah inkracht. Salah satunya adalah melaporkan pengusaha ke kepolisian, setidaknya atas dua tuduhan. Pertama, dugaan penggelapan uang pesangon. Sedangkan yang kedua adalah dugaan pelanggaran Pasal 216 KUHP dimana tindakan pengusaha yang tak mau menjalankan putusan PHI yang sudah inkracht dianggap sebagai tindakan yang menghalang-halangi perintah dari pejabat atau penguasa umum.
Di samping itu, upaya lain yang bisa dilakukan terhadap pengusaha “membandel” itu adalah dengan mengajukan gugatan pailit ke Pengadilan Niaga. Jumlah besaran pesangon yang sudah ditetapkan berdasarkan putusan PHI yang sudah inkracht akan menjadi hutang pengusaha dan piutang pekerja. Di sini berarti kedudukan pekerja adalah kreditur, sementara pengusaha menjadi debitur.
Ketika permohonoan eksekusi sudah diajukan dan sang pengusaha masih tak mengacuhkannya, maka hutang si pengusaha menjadi dapat ditagih. Merujuk pada Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kreditur dapat menggugat pailit seorang debitur. Dalam hal ini penggugat bertindak selaku kreditur dan Pengusaha selaku kreditur. Syaratnya, ada satu hutang yang sudah jatuh tempo dan dapat dibayar, debitur memiliki dua kreditur atau lebih, dan pembuktiannya sederhana. (Bernard Simamora, CEO BS&R Law Firm di Bandung)