Jakarta, MH – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pelaku kekerasan seksual diganjar dengan hukuman maksimal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Amiruddin selaku Wakil Ketua Komnas HAM menilai bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia kian mengkhawatirkan.
Terbukti, kian banyak terduga predator seksual yang ditangkap polisi beberapa waktu terakhir ini. Misalnya, penangkapan terduga pelaku kekerasan seksual di Jombang yang sempat buron beberapa waktu. Penangkapan seorang pelaku kekerasan seksual di Depok pada Juli ini.
Bahkan, media sosial kini dihebohkan pengakuan dua perempuan muda yang diduga menjadi korban kekerasan seksual pendiri sekolah gratis di Malang.
“Melihat gejala tersebut di atas, maka perlu disikapi bahwa peristiwa kekerasan seksual sungguh-sungguh terjadi dan marak di Indonesia serta telah mengancam secara serius anak-anak, terutama anak-anak perempuan,” ujar Amiruddin dalam keterangan, Minggu (10/7/2022).
Komnas HAM meminta aparat penegak hukum, khususnya kepolisian menerapkan UU TPKS untuk menindak para terduga pelaku. Hal ini bertujuan agar menimbulkan efek jera.
“Komnas HAM juga mendorong jaksa dan hakim dalam mengadili para tersangka sudah semestinya menggunakan UU TPKS secara maksimal,” lanjut Amiruddin.
Bintang Puspayoga selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menuturkan, seluruh proses hukum terkait tindak pidana kekerasan seksual telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Aturan itu menjamin segala penghargaan atas harkat dan martabat manusia, nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi korban, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
“Kekerasan seksual adalah pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran konstitusi, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan,” ujar Bintang.
Oleh karena itu, Bintang menyatakan semua bentuk kekerasan seksual harus mendapat penanganan hukum yang sesuai.
“Agar tidak ada lagi penyelesaian di luar pengadilan dan pihak-pihak yang menghalangi Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menegakkan hukum,” lanjut Bintang.
Bintang juga mengapresiasi keberanian korban untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Hal tersebut menurutnya memiliki dampak yang luar biasa.
“Karena atas keberaniannya, kasus kekerasan seksual ini terungkap dan dapat segera ditangani proses hukum serta pemulihannya, dan yang paling penting adalah mencegah bermunculan korban-korban lainnya,” terang Bintang.
Selain mendapatkan keadilan, Bintang berharap korban juga bisa mendapatkan ganti rugi, penanganan, dan pemulihan baik trauma psikologis maupun pemulihan martabat di tengah-tengah masyarakat.
“Saya tegaskan kembali, tidak ada kasus kekerasan seksual yang dapat ditoleransi dan siapapun pelakunya, hukum harus ditegakkan dan diproses,” tutur Bintang, Sabtu (9/7/2022).
Sementara, Hasbi Hasbi Asyidiki Jayabaya selaku anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PDIP juga meminta aparat penegak hukum menjatuhkan hukuman berat terhadap pelaku kekerasan seksual. Hal ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan bila terbukti melakukan unsur pidana persetubuhan dan pencabulan terhadap anak.
“Kita berharap penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dapat memproses hukuman maksimal, ” ujar Hasbi, Minggu(10/7/2022).
Hasbi mengatakan, perilaku kekerasan seksual itu karena adanya kelainan jiwa dan kebanyakan pelakunya orang dekat, yakni bisa saja orang tua sendiri, ayah tiri, ipar, paman, teman, tetangga, hingga guru.
“Kami minta masyarakat dapat mengawasi di rumah, rumah tetangga sebelah, kampung, gang dan lingkungan jika ditemukan pelanggar UU TPKS agar melaporkan kepada kepolisian untuk diproses hukum,” ujarnya.
Dalam UU TPKS, memasukkan beleid terkait hukuman tambahan pada pelaku kejahatan kekerasan seksual. Di Pasal 16 ayat 1 disebutkan, selain pidana penjara, pidana denda, atau pidana lainnya menurut ketentuan undang-undang, hakim wajib menetapkan besarnya restitusi terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
Di ayat 2, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak atau pencabutan pengampuan; pengumuman identitas pelaku; dan/atau perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh dari Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Pada ayat 3 pasal yang sama disebutkan, ketentuan mengenai penjatuhan pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi pidana mati dan pidana penjara seumur hidup.