Beranda Sosialisasi Amnesty Internasional Indonesia Kritik pemilihan 2 Hakim ad hoc Kasus Paniai dinilai...

Amnesty Internasional Indonesia Kritik pemilihan 2 Hakim ad hoc Kasus Paniai dinilai bermasalah

Usman Hadid // Amnesty Internasional Indonesia Kritik pemilihan 2 Hakim ad hoc Kasus Paniai dinilai bermasalah // Doc. Antar Foto/Sumber

Jakarta, MH – Amnesty International Indonesia mengkritik pemilihan hakim ad hoc untuk Pengadilan HAM Kasus Paniai yang digelar oleh Mahkamah Agung pada 25 Juli 2022. Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dari delapan orang yang lolos, ada dua hakim dinilai bermasalah.

“Kami menyayangkan adanya hakim ad hoc terpilih yang memiliki latar belakang yang sarat dengan konflik kepentingan,” ujar Usman, Rabu, 27 Juli 2022.

Usman menjelaskan, salah satu hakim terpilih memiliki latar belakang sebagai instruktur di institusi TNI. Sementara satu lagi memiliki hubungan keluarga dekat dengan seorang jaksa.

“Selain itu, baru ada delapan hakim yang terseleksi, sedangkan sebelumnya Ketua Panitia Seleksi Andi Samsan Nganro menyatakan bahwa ada 12 hakim yang akan direkrut,” ujar Usman.

Usman mendesak agar Mahkamah Agung memastikan seleksi empat hakim lainnya dilakukan secara transparan dan calon-calon yang dipilih memilki kompeten, independen, serta tidak memiliki potensi konflik kepentingan.

Adapun para hakim ad hoc ini bakal ditugaskan Mahkamah Agung di Pengadilan HAM Tingkat Pertama dan Pengadilan HAM Tingkat Banding untuk kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Paniai, Papua pada 2014.

Berdasarkan investigasi Komnas HAM, tragedi penyerangan di Paniai dilakukan oleh prajurit TNI terhadap warga sipil. Ada empat orang meninggal dunia akibat luka tembak dan tusukan, sementara 21 orang harus dirawat di rumah sakit.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, disebutkan pelanggaran berat HAM terdiri dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Dalam undang-undang tersebut, Komnas HAM dapat menyelidiki suatu kejadian yang diduga sebagai pelanggaran HAM berat, dan bila menemukan bukti yang memadai bahwa pelanggaran HAM berat telah terjadi, dapat melimpahkan hasil penyelidikannya ke Jaksa Agung. Jaksa Agung dalam undang-undang tersebut kemudian berwenang untuk menyidik kasus dan menuntut mereka yang bertanggung jawab untuk diadili di Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Dalam undang-undang tersebut juga dijelaskan bahwa pemeriksaan perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM, yang di antaranya terdapat unsur hakim ad hoc. Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul ketua Mahkamah Agung dan berjumlah sekurang-kurangnya 12 orang.