Di tahun-tahun terakhir, nama Soeharto kembali mengisi ruang perdebatan publik. Bukan soal kepemimpinannya semata, tapi terkait wacana untuk menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional. Sebagian kalangan, termasuk loyalis Orde Baru dan segelintir tokoh politik, menilai bahwa Soeharto layak dikenang sebagai tokoh penyelamat bangsa. Namun, suara yang jauh lebih keras terdengar dari berbagai arah: penolakan yang nyaring dan luas.
Mengapa usulan ini selalu kandas? Untuk menjawabnya, kita harus membuka kembali lembar-lembar sejarah Indonesia pasca-1965—lembaran yang penuh luka, kontroversi, dan ironi.
Menapak Jejak Soeharto: Dari Panglima ke Presiden
Soeharto naik ke panggung kekuasaan dalam situasi krisis. Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang mengakibatkan terbunuhnya tujuh jenderal, Soeharto mengambil alih komando militer dan secara bertahap meminggirkan Soekarno. Pada Maret 1966, ia menerima Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), yang menjadi pijakan bagi pengalihan kekuasaan formal.
Setahun kemudian, Soeharto resmi menjabat Presiden. Ia memimpin Indonesia selama 32 tahun dengan stabilitas yang dijadikan wajah dari kekuasaannya. Jalan tol, bendungan, swasembada pangan, dan pembangunan ekonomi menjadi narasi utama pemerintahannya.
Namun di balik narasi pembangunan itu, terdapat paralel narasi yang kelam.
Luka 1965 dan Gelombang Darah
Setelah G30S, Indonesia memasuki fase pembantaian massal. Ratusan ribu, bahkan hingga jutaan orang ditangkap dan dibunuh karena dituduh terlibat PKI. Mereka yang tak terbukti pun tetap dicap dan dikucilkan secara sistemik selama puluhan tahun.
Komnas HAM dalam penyelidikannya menyatakan bahwa tragedi 1965-1966 merupakan bentuk pelanggaran HAM berat dan menyerukan adanya penuntasan hukum dan rekonsiliasi. Namun, hingga kini, tidak ada satu pun pejabat tinggi negara yang bertanggung jawab secara hukum atas kejadian tersebut.
Otoritarianisme dan Represi Orde Baru
Di era Soeharto, demokrasi tidak hidup. Sistem yang diberi nama Demokrasi Pancasila hanyalah wajah formil dari praktik satu partai dominan (Golkar) dan parlemen yang dikontrol. Militer memainkan peran ganda melalui konsep Dwifungsi ABRI, yang mengizinkan militer masuk ke urusan sipil dan pemerintahan.
Pers diberangus, mahasiswa dikekang, oposisi dibungkam. Nama seperti Wiji Thukul, Marsinah, dan para aktivis pro-demokrasi menjadi simbol dari rakyat yang hilang suara.
Korupsi dan Dinasti Kekuasaan
Tak hanya represif, kekuasaan Soeharto juga sarat dengan korupsi. Keluarganya, terutama anak-anaknya, menguasai proyek-proyek raksasa dan membangun gurita bisnis yang memanfaatkan kekuasaan negara.
Pada tahun 2004, organisasi internasional Transparency International menempatkan Soeharto sebagai koruptor paling besar di dunia, dengan estimasi kerugian negara mencapai USD 15–35 miliar.
Reformasi dan Gugurnya Legitimasi Moral
Tahun 1998, krisis ekonomi dan tekanan reformasi mengguncang Orde Baru. Kerusuhan, pemerkosaan massal, dan keruntuhan ekonomi meluas. Soeharto mundur di tengah gelombang demonstrasi mahasiswa dan kemarahan rakyat.
Di mata sebagian besar generasi reformasi, Soeharto bukanlah pahlawan, tetapi simbol dari apa yang ingin mereka ubah. Maka, setiap kali usulan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional muncul, trauma kolektif itu kembali menguat.
Hukum Tidak Buta Sejarah
Menurut UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, pahlawan nasional haruslah tokoh yang berintegritas moral, tidak tercela, dan jasanya diakui secara luas. Soeharto mungkin punya jasa pembangunan, tapi integritas moralnya dipertanyakan oleh sejarah—dan oleh rakyatnya sendiri.
Tanpa pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM dan korupsi, publik mempertanyakan dasar usulan gelar kehormatan ini. Apalagi Soeharto tidak pernah diadili secara tuntas. Kasusnya dihentikan karena alasan kesehatan, meskipun sempat ditetapkan sebagai tersangka.
Penolakan dari Berbagai Kalangan
Gelombang penolakan datang dari banyak penjuru:
- Komnas HAM,
- Akademisi sejarah dan hukum,
- Yayasan korban 65 dan keluarga korban penculikan,
- Aktivis reformasi,
- Kalangan muda yang menolak glorifikasi Orde Baru.
Bahkan sebagian tokoh keagamaan dan organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah menyuarakan keberatan. Mereka menilai bahwa pengangkatan ini justru akan memecah belah masyarakat, bukan menyatukannya.
Simbol Pahlawan Adalah Penebusan, Bukan Pemutihan
Pahlawan nasional adalah simbol keteladanan, bukan sekadar hasil kalkulasi politis. Ia harus menjadi panutan moral lintas generasi, bukan hanya penguasa yang pernah berkuasa.
Soeharto adalah bagian penting dari sejarah Indonesia. Namun sejarah bukanlah alat kosmetik untuk menutupi luka kolektif. Sebaliknya, ia harus dihadapi dengan jujur.
Epilog: Belajar dari Sejarah, Bukan Menyembunyikannya
Mengajukan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional, tanpa pertanggungjawaban dan rekonsiliasi, adalah pengkhianatan terhadap memori sejarah dan keadilan yang belum tuntas. Kita tak sedang bicara soal membenci atau menghapus jejaknya, tapi tentang bagaimana bangsa ini belajar memilih siapa yang layak dijadikan simbol kehormatan tertinggi. Dan sejarah telah bicara: belum saatnya.
Oleh : Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M.; Ketua Bidang Organisasi, Advokasi dan Keanggotaan Ikatan Alumni Universitas Terbuka Jawa Barat; advoat dan pegiat pendidikan dan kewirausahaan.
Artikel Soeharto dan Jejak Kontroversi Gelar Pahlawan: Mengapa Penolakannya Masif? pertama kali tampil pada bsdrlawfirm.com.