Jakarta – Tragedi Kerusuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur yang telah menewaskan 131 orang. Musibah tersebut baru pertama kali terjadi di Indonesia dan menjadi musibah kematian nomor 2 di dunia pada ajang olah raga sepak bola.
“Mengapa Polri dituding bertanggung jawab atas musibah ini? Dari sisi hukum pidana belum memberikan argumentasi yang utus, jelas dan tegas antara makna Excessive Force dengan kondisi darurat chaos di lapangan penyelenggaraan sepak bola ini yang dikategorikan sebagai abnormal tijden atau kondisi dadurat,” ujar Indriyanto Seno Adji selaku Guru Besar Hukum Pidana/Pengajar PPS Bidang Studi Ilmu Hukum UI, Sabtu (09/10/2022).
Menurut Indriyanto, jika dikaitkan dengan suasana chaos dengan kategori kondisi force majeur atau keadaan memaksa sehingga penggunaan gas air mata oleh penegak hukum Polri yang dianggap sebagai pemicu tragedi Kanjuruhan, bahkan penggunaan gas air mata dianggap melanggar aturan internal FIFA.
Indriyanto juga menilai adanya polemik mengenai legitimasi dan levelitas antara regulasi FIFA dan hukum nasional mengenai dampak picuan penggunaan gas air mata.
Kedua aturan tersebut yaitu FIFA dan hukum nasional memiliki relasi dan integritas yang saling mengisi, namun haruslah dipahami bahwa “The Sovereignty of National Law is The Supreme Law.”
Indriyanti menyebut, keadaan darurat chaos menggunakan gas air mata yang justru harus dilakukan karena adanya picuan serangan atau ancaman variatif yaitu serangan seketika itu yang melawan hukun terhadap petugas penegak hukum Polri dan para pemain/official Persebaya. Karenanya, tindakan preventive force yang proporsional dan subsidaritas adalah tindakan yang justru dibenarkan secara hukum.