Oleh Bambang Soesatyo *)
Kemajuan teknologi informasi yang berkembang sedemikian pesat, telah mengubah tatanan konvensional yang sebelumnya kita asumsikan sebagai sebuah kemapanan, dan menghadirkan tatanan baru yang mengoreksi makna kemapanan sebelumnya.
Segenap dimensi kehidupan, termasuk di dalamnya sektor perekonomian seperti dunia bisnis dan perbankan, semuanya dituntut untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan standar kemapanan yang baru.
Tren dunia industri saat ini dipenuhi dengan digitalisasi pada hampir semua lini. Segala sesuatu yang manual, natural, dan mekanis akan digantikan dengan yang serba digital. Di tengah berbagai pembatasan aktivitas fisik selama masa pandemi COVID-19, kehadiran ekonomi digital semakin mendapatkan sambutan masyarakat luas yang membutuhkan pelayanan dan transaksi yang serba cepat dan efisien.
Pesatnya pertumbuhan ekonomi digital di tanah air juga didukung oleh berlimpahnya pengguna internet.
Sebagai catatan, hingga awal 2022 tingkat penetrasi internet di Indonesia mencapai 73,7 persen, artinya sekitar 201,8 juta orang Indonesia sudah terkoneksi dengan internet. Ini adalah potensi pasar yang sangat besar, dan hampir dapat dipastikan angka tersebut akan terus beranjak naik.
Ke depan, proyeksi pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia begitu menjanjikan, dan digadang-gadang akan menjadi kunci pertumbuhan ekonomi pasca pandemi.
Menurut Bank Indonesia, hingga Januari 2022 nilai transaksi uang elektronik meningkat 66,65 persen dibandingkan tahun lalu, atau sekitar Rp34,6 triliun; sedangkan nilai transaksi digital banking meningkat 62,82 persen atau lebih dari Rp4.314 triliun. Bahkan pada 2022, transaksi e-commerce Indonesia diprediksi akan mencapai Rp530 triliun.
Sebagai pembanding, Google dalam laporan East Ventures Digital Competitiveness Index 2021 juga memproyeksikan bahwa pada 2025, kontribusi ekonomi digital pada perekonomian Indonesia akan mencapai 124 miliar dolar AS.
Sebagaimana digitalisasi pada berbagai sektor lainnya, digitalisasi pada sektor ekonomi sesungguhnya menawarkan beberapa keunggulan.
Pada sektor keuangan misalnya, kehadiran aset kripto sebagai komoditas digital yang dapat digunakan untuk transaksi virtual berbasis jaringan internet ini mempunyai keunggulan dari aspek kecepatan, efisiensi waktu dan biaya, dan keamanan karena terlindungi oleh teknologi blockchain yang hampir mustahil untuk diretas.
Kementerian Perdagangan melalui Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto yang Dapat Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto, telah memberikan izin 229 aset kripto untuk diperjualbelikan.
Saat ini pun Indonesia menjadi pasar kripto terbesar di Asia Tenggara, dengan angka kapitalisasi mencapai sekitar Rp900 triliun, dan jumlah investor mencapai 11 juta orang.
Demikian juga pemanfaatan robot trading yang membantu trader untuk melakukan otomatisasi dalam perdagangan, mampu menjalankan fungsi sebagaimana penasehat berjangka (trading advisor), misalnya untuk melakukan adaptasi dan perubahan strategi dengan menyesuaikan perubahan pasar, meningkatkan efektivitas eksekusi trading dengan lebih cepat, dan melakukan stop loss atau cut loss untuk membatasi resiko kerugian.
Selain menawarkan beberapa keunggulan, pemanfaatan aset kripto dan robot trading juga mensyaratkan adanya literasi finansial yang memadai.
Waspadai investasi ilegal
Banyaknya penawaran investasi ilegal yang berkedok robot trading, dan belum dibangunnya infrastruktur penunjang seperti keberadaan bursa kripto, menyebabkan masyarakat yang belum sepenuhnya memahami proses bisnis dari industri robot trading dan aset kripto, berada pada posisi rentan terhadap berbagai modus penipuan.
Untuk itu perlu dipersiapkan infrastruktur pengaturan dan pengawasan aset kripto atau aset digital termasuk pola transaksinya.
Mengapa? Karena sudah banyak masyarakat yang menjadi korban. Misalnya, pada Januari 2022 terungkap kasus investasi ilegal “suntik modal alat kesehatan” yang menyebabkan ratusan orang menjadi korban dengan total kerugian mencapai lebih dari Rp1,2 triliun.
Contoh lain kasus dugaan penipuan berkedok perdagangan opsi biner Binomo yang oleh Polri diklasifikasikan sebagai aplikasi judi online, di mana dari 8 korban pelapor saja, total kerugian tercatat mencapai Rp3,8 miliar.
Ini baru data dari dua kasus, dan hanya dikalkulasikan dari korban yang sudah melaporkan. Diperkirakan masih ada banyak kasus lainnya dan masih ada banyak korban yang belum melaporkan.
Dengan maraknya kasus penipuan berkedok investasi, maka selain upaya pencegahan melalui edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat, tentunya juga diperlukan tindakan pembinaan, dan bila diperlukan langkah-langkah represif agar dapat memberikan efek jera pada pelaku.
Dalam kaitan ini, kita mendukung langkah Satgas Waspada Investasi yang telah menghentikan kegiatan 17 entitas robot trading ilegal, dan 69 perdagangan aset kripto yang tidak memiliki ijin dari Kementerian Perdagangan, dalam hal ini Bappebti.
Langkah tegas dan responsif dari Polri untuk menindaklanjuti laporan pengaduan masyarakat juga sudah sepatutnya didukung dan apresiasi.
Merujuk pada pengalaman sebelumnya, fakta bahwa ternyata tindak penipuan berkedok investasi bukan baru-baru ini saja terjadi. Sepanjang periode tahun 2011 hingga 2021, diperkirakan jumlah kerugian akibat investasi bodong mencapai Rp117,4 triliun, angka yang sangat fantastis.
Fenomena ini mengisyaratkan, bahwa harus ada langkah-langkah pembenahan yang konkrit dan efisien, untuk mencegah agar tidak semakin banyak masyarakat yang menjadi korban.
Di sisi lain, langkah-langkah pembenahan tersebut juga harus dapat menghindarkan persepsi yang keliru mengenai paradigma ekonomi digital seperti halnya fenomena robot trading dan aset kripto. Karena jika dicermati lebih dalam, akar persoalan dalam implementasi bisnis digital juga bersumber dari adanya kesenjangan atau gap, yaitu :
- a) Gap antara pengambil kebijakan dengan masyarakat, yaitu digital society yang begitu sangat cepat meluas akibat online life styles, sementara infrastruktur pengaturan dan pembinaan berbasis digital belum siap;
- b) Gap digital literatif (pemberian pemahaman) yang masih kurang dari pengambil kebijakan terhadap masyarakat;
- c) Gap tindakan perlindungan konsumen antara pelaku industri dengan peraturan yang disiapkan untuk aktivitas bisnis dari regulator.
Ketiga gap tersebut berinteraksi secara bersamaan dalam masyarakat sehingga mengakibatkan persoalan “apa dan bagaimana” menjalani bisnis di dunia digital (digital trading) menjadi semrawut.
Dengan memahami sebagian dari akar persoalan dalam implementasi bisnis digital tersebut, kiranya dapat membantu kita untuk melihat fenomena robot trading dan aspek kripto dengan lebih jernih.
Sudah saatnya bagi kita untuk memaknai pesatnya pertumbuhan ekonomi digital sebagai momentum untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi, yang selama hampir 2 tahun ini telah tergerus oleh pandemi COVID-19.
Tingginya angka kapitalisasi dan besarnya jumlah investor dalam fenomena robot trading dan aset kripto, juga harus kita maknai sebagai peluang dan potensi investasi yang dapat kita optimalkan untuk memajukan perekonomian nasional.
Kelalaian kita untuk berbenah dan mengambil langkah strategis, akan berpotensi menyebabkan larinya aliran modal keluar (capital outflow) dalam jumlah besar, karena dalam konteks investasi, investor akan selalu mencari tempat yang nyaman dan menguntungkan.
Di satu sisi, berkembangnya ekonomi digital harus kita sikapi dengan bijaksana dan penuh kehati-hatian. Di sisi lain, pesatnya pertumbuhan ekonomi digital harus dapat kita optimalkan melalui penyempurnaan ekosistem digital yang meliputi sektor perbankan digital, industri teknologi keuangan (fintech), dan e-commerce, sebagai satu kesatuan sistem yang terintegrasi.
Langkah strategis
Momentum pertumbuhan ekonomi digital ini harus kita respons dengan beberapa langkah strategis. Pertama, melalui penataan regulasi, yang tidak saja penting untuk memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha dan perlindungan hukum bagi konsumen, namun juga untuk menjamin agar aktivitas ekonomi digital memberi kontribusi pada pendapatan negara, misalnya dari sektor perpajakan. Untuk itu perlu dipersiapkan infrastruktur pengaturan dan pengawasan aset kripto atau aset digital termasuk trading-nya.
Langkah ini tentunya membutuhkan partisipasi dan komitmen dari segenap pemangku kepentingan, khususnya Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan, untuk duduk bersama dan merumuskan kerangka kebijakan yang komprehensif dan implementatif.
Dalam kaitan ini, saya menyarankan bahwa sambil menunggu regulasi dan memastikan tidak terjadi mis-selling dan rusaknya kepercayaan publik, serta demi melindungi konsumen, dan mengklarifikasi entry players ke pasar, perlu disiapkan Sandbox, yaitu menghimpun semua pelaku apapun bentuknya, lalu diberikan pembinaan regulasi, transparansi, aturan bisnis, serta legalitas entitas sedemikian rapih agar kemudian memenuhi syarat kelayakan bermain bisnis di masyarakat.
Praktik Sandbox ini telah diterapkan di berbagai negara seperti Uni Eropa, Amerika, China dan Asia Tenggara termasuk Bank Indonesia dan OJK di Indonesia. Diharapkan, Kementerian Perdagangan khususnya melalui Bappebti perlu memikirkan penerapannya.
Langkah strategis yang kedua adalah reformasi sistem pembayaran dalam kegiatan transaksi ekonomi digital.
Dalam kerangka reformasi sektor keuangan, saya sependapat dengan seruan Gubernur Bank Indonesia, sebagaimana juga telah menjadi perhatian negara-negara G20 untuk mengelola risiko dan mengoptimalkan manfaat dari semakin meluasnya penggunaan teknologi digitalisasi di sektor keuangan.
Gagasan BI untuk merumuskan pembuatan mata uang digital atau “digital rupiah” menjadi sejalan dengan pemahaman bahwa G20 juga menekankan implikasi dari Central Bank Digital Currenncy (CBDC) terhadap sistem moneter dan keuangan internasional.
Dari sisi optimalisasi manfaat teknologi dan digitalisasi, G20 akan melanjutkan implementasi peta jalan sistem pembayaran lintas batas (G20 Roadmap for Enhancing Cross Border Payments) untuk mendorong sistem pembayaran yang cepat, mudah, murah, aman dan handal serta mendiskusikan pemanfaatan digitalisasi untuk meningkatkan inklusi keuangan.
Selaras dengan rancang bangun sistem pembayaran di era digital tersebut, kita patut mengapresiasi langkah-langkah proaktif yang dilakukan Bank Indonesia, misalnya melalui peluncuran Bank Indonesia Fast Payment sebagai implementasi dari visi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025.
Namun, langkah ini perlu didorong untuk terus dikembangkan, karena pada saat yang bersamaan pertumbuhan ekonomi digital juga akan terus melaju dan membutuhkan langkah-langkah penyesuaian, termasuk dalam menyikapi fenomena robot trading dan aset kripto .
Selanjutnya yang ketiga, pembangunan literasi finansial dan literasi digital dari masyarakat selaku konsumen, agar mempunyai kapabilitas dan kompetensi yang memadai sehingga dapat menilai setiap produk ekonomi digital dari berbagai aspek dan perspektif, termasuk di dalamnya faktor potensi keuntungan maupun resiko kerugian.
Mengacu pada hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2019, indeks literasi keuangan kita baru mencapai 38 persen, sangat timpang dengan indeks inklusi keuangan yang sudah mencapai 76,19 persen.
Ini mengindikasikan bahwa meskipun akses pada berbagai produk dan layanan jasa keuangan cukup memadai, namun tingkat pemahaman masyarakat terhadap karakteristik produk dan layanan jasa keuangan yang masih rendah harus terus ditingkatkan.
Jika tidak dibenahi, kondisi ini tentunya mengkhawatirkan, karena tidak saja berdampak pada manajemen keuangan yang bukan saja tidak tepat sasaran, melainkan juga beresiko terjebak pada perangkap investasi bodong.
*) Bambang Soesatyo adalah Ketua MPR RI, Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNPAD dan Dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka.
Sumber: Antaranews.com