Jakarta, MH – Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej selaku Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) mengungkapkan bahwa jutaan orang telah dipidana dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang tidak pasti.
Dalam ‘Diskusi RUU KUHP Direktorat Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM’ Eddy menuturkan bahwa KUHP yang saat ini dalam proses penyusunan mendesak untuk segera disahkan.
“Dengan secara tegas saya menyatakan jutaan orang dipidana dengan KUHP yang tidak pasti dan perbedaan prinsip tidak hanya rumusan delik, tetapi di dalam sanksi pidana itu perbedaannya sangat panjang,” ujar Eddy, Kamis (23/6/2022).
KUHP yang berlaku saat ini merupakan warisan kolonial Belanda. Dalam perkembangannya, terdapat terjemahan KUHP versi R. Soesilo dan Moeljatno.
Eddy pun menyinggung Pasal 110 tentang permufakatan jahat dalam KUHP versi Soesilo dan Moeljatno. Dalam versi Soesilo mengatur sanksi pidana enam tahun penjara. Sedangkan versi Moeljatno menyatakan dipidana sama dengan kejahatan itu dilakukan yakni pidana mati.
“Itu gradasi yang luar biasa. Cuma kadang-kadang para lawyer tak pernah membaca naskah asli Wetboek van Strafrecht, saya punya terbitan 1915, jadi enggak ngerti, apa itu akan terus menerus mengadili orang dengan KUHP yang tidak pasti,” imbuhnya.
Eddy menjelaskan bahwa perbedaan tersebut menjadi salah satu faktor yang mendorong pemerintah menyusun KUHP. Selama 64 tahun, upaya itu belum membuahkan hasil dan masih terus dikerjakan hingga saat ini.
“Kalau kita hitung dari mulai masuk di DPR berarti 59 tahun, tahun 1963. Kalau kita hitung mulai disusun, itu berarti 64 tahun dari 1958,” tutur Eddy.
“Tapi saya selalu menghibur diri bahwa Belanda yang hanya sebesar Provinsi Jawa barat dengan homogen masyarakat itu membutuhkan waktu 70 tahun, tapi dengan kita yang multietnis, multireligi, multikultur tentunya memang membutuhkan pembahasan panjang dan saya kira itu tidak menjadi persoalan,” tandasnya.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM sudah menggelar sosialisasi RUU KUHP di 12 kota besar di Indonesia pada tahun 2021. Jakarta menjadi kota terakhir dalam agenda yang turut mengundang sejumlah guru besar tersebut.
Eddy menjelaskan draf RKUHP saat ini masih dalam tahap pembacaan ulang sehingga belum diserahkan ke DPR dan bisa diakses publik. Ia tidak ingin preseden buruk Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang banyak ‘cacat’ terulang kembali.
“Sampai hari ini tim pemerintah masih membaca ulang, kita tidak mau apa yang pernah terjadi dalam UU Ciptaker terulang, malu ini ada puluhan guru besar hukum pidana kemudian tidak membaca teliti. Jadi, kita baca teliti betul, kita serahkan ke DPR, baru kita buka ke publik,” kata Eddy.