MajalahHukum – Saat ini maraknya penjatuhan hukuman mati kepada terdakwa yang telah melanggar hukum berat, salah satunya pada terdakwa Herry Wirawan yang telah memperkosa 13 santriwati .
Herry mendapatkan banyak tuntutan Pasal dari Jaksa Penuntut Umum yang di antaranya Pasal 21 KUHAP, Pasal 27 KUHAP, Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP, Pasal 193 KUHAP, Pasal 222 KUHAP, Pasal 241 KUHAP, Pasal 242 KUHAP, Pasal 65 KUHP, Pasal 81 ayat (1), ayat (3), dan ayat (5) UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Dalam putusan Hakim Tinggi, Herry Wirawan dijatuhakan tuntutan penjara seumur hidup, namun Jaksa meminta untuk tuntutan hukuman mati. Hakim menilai bahwa perbuatan Herry Wirawan telah terbukti bersalah sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3), dan ayat (5) jo Pasal 76.D UU RI No. 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.
Namun, Jaksa mengajukan banding atas vonis yang diberikan majelis hakim terhadap Herry Wirawan. Jaksa meyakini hukuman mati patut diberikan atas perbuatan Herry yang telah memperkosa 13 santriwati. Di tingkat banding, hukuman Herry Wirawan diperberat menjadi hukuman mati.
“Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum; Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana mati,” hasil putusan dari Hakim Tinggi pada hari Senin 4 April 2022.
Adapun penjelasan mengenai tuntutan Pasal yang dilayangkan oleh Jaksa kepada terdakwa Herry Wirawan yaitu sebagai berikut:
- Pasal 21 dan Pasal 27 KUHAP menjelaskan mengenai penahanan yang diberikan ke Herry Wirawan atas perbuatan yang dilakukannya.
- Pasal 153 ayat (3) menjelaskan mengenai hakim menyatakan sidang terbuka untuk umum, kecuali perkara kesusilaan dan terdakwanya anak-anak. Dengan kata lain bahwa sidang Herry Wirawan dapat ditonton untuk masyarakat umum.
- Pasal 193 menjelaskan mengenai pengadilan berpendapat bahwa terdakwa berssalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
- Pasal 222 KUHAP menjelaskan mengenai biaya perkara di bebankan kepada negara.
- Pasal 241 KUHAP menjelaskan bahwa dalam perkara banding, pengadilan tinggi dapat memutuskan, menguatkan, mengubah, membatalkan putusan tersendiri, dan pengadilan negeri tidak memiliki wewenang tersebut.
- Pasal 242 KUHAP menjelaskan mengenai pemeriksaan tingkat banding terdakwa yang dipidana itu ada dalam tahanan, maka pengadilan tinggi dalam putusannya memerintahkan supaya terdakwa tetap ditahan atau dibebaskan.
- Pasal 65 ayat (1) menjelaskan mengenai hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu.
- Pasal 81 ayat (1), ayat (3) dan ayat (5) UU No. 17/2016 tentang Perubahan Atas UU No. 23/2002 tentang Perlindungan anak yang berbunyi sebagai berikut:
Ayat (1) : Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah);
Ayat (3) : Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
Ayat (5) : Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimakasud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Dilihat dari Pasal 81 ayat (5) yang telah diuraikan di atas terlihat salah satu alasan Hakim Tinggi menjatuhkan vonis seumur hidup yang lalu diubah menjadi hukuman mati. Disisi lain hakim juga berpendapat bahwa pidana yang dijatuhkan hukuman mati tersebut bukanlah sebagai upaya balas dendam atas perbuatan terdakwa, namun secara umum sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan serupa di kemudian hari dan dari kemungkinan pengulangan perbuatan serupa yang dilakukan oleh terdakwa. Hakim pun beralasan bahwa hukuman mati tersebut demi memenuhi rasa keadilan bagi korban.
Sebelumnya pada hari Rabu 12 Januari 2022, Komnas HAM sempat menolak adanya penerapan hukuman mati karena bertentangan dengan HAM. Jika disinggung mengenai HAM, disini kita tidak mengetahui bagaimana kondisi mental para korban dan kehidupan masa depan mereka. Para korban pun memiliki hak nya untuk bagaimana menghukum terdakwa atas perbuatan tercela yang dilakukan kepada para korban. Jika hanya penjara maksimal 20 tahun apakah meyakinkan bahwa terdakwa tidak akan melakukan perbuatan serupa kembali? Maka dari itu dengan pertimbangan-pertimbangan nya Hakim menjatuhkan hukuman mati terhadap terdakwa Herry Wirawan.
Hal ini memang menjadi pro-kontra mengenai hukuman mati terhadap terdakwa. Hukuman penjara seumur hidup sebenarnya telah cukup untuk terdakwa karena tidak beda jauh dengan hukuman mati, namun jika penjara seumur hidup terdakwa bisa merasakan sakit penyelasan atas perbuatan yang telah dilakukannya.
(MH)