Home Pidana Khusus Napi Bengkalis Dihukum Mati Setelah Kendalikan Impor 31kg Sabu dari Lapas

Napi Bengkalis Dihukum Mati Setelah Kendalikan Impor 31kg Sabu dari Lapas

Napi Bengkalis Dihukum Mati Setelah Kendalikan Impor 31kg Sabu dari Lapas -- Doc.antar foto/sumber

JAKARTA – Jeruji penjara tidak membuat Hanafi (37) kapok. Dengan berbagai cara, Hanafi membobol sistem keamanan LP Bengkalis sehingga bisa mengontrol impor narkotika jenis sabu. Akhirnya Hanafi dihukum mati.

Hal itu tertuang dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) Pelalawan, yang dilansir di website-nya, Jumat (1/9/2023).

Awalnya, BNN mencium pergerakan penyelundupan sabu lewat jalur laut pada November 2022. Komplotan itu menyelundupkan 31 kg sabu lewat perairan Batam. Semua pergerakan operasi itu dikendalikan oleh Hanafi yang sedang menjalani hukuman 15 tahun penjara di LP Bengkalis dalam kasus narkoba.

Pada 16 November 2022, penyelundupan itu terbongkar BNN. Sejumlah nama dibekuk. Hanafi yang menghuni LP Bengkalis pun dibekuk belakangan dan diadili kembali.

“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana mati,” demikian bunyi putusan yang diketuai Benny Arisandy dengan anggota Jetha Tri Dharmawan dan M Ilham Firza.

Majelis sepakat narkoba merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena menjadi salah satu senjata proxy war untuk melumpuhkan kekuatan bangsa. Narkoba menyasar semua kalangan masyarakat, dan peredarannya bisa melibatkan banyak profesi, mulai petani hingga pesohor. Apalagi daya rusak narkoba lebih besar daripada tindak pidana korupsi maupun terorisme.

“Kerugian yang diakibatkan oleh narkotika jauh melebihi daripada kerugian akibat korupsi dan tidak hanya itu dari sisi korban jiwa, narkoba merenggut nyawa masyarakat di Indonesia sangat banyak setiap harinya, jauh melampaui jumlah korban yang dialami oleh kejahatan terorisme,” ungkapnya.

Dalam persidangan, kuasa hukum Hanafi telah mengajukan pembelaan meminta hukuman yang seringan-ringannya dengan alasan mengaku bersalah dan menyatakan penjantuhan hukuman mati tidaklah akan menjadi jaminan akan terhentinya peredaran narkotika. Alasan itu ditepis majelis hakim.

“Majelis hakim menilai kejahatan narkotika merusak anak bangsa dan merangsang banyak orang untuk mendapatkannya dengan cara mudah, selain itu jaringannya praktik peredaran narkotika tersebut sulit sekali diretas dengan sekedar mengirimkan mereka ke penjara, sehingga harus ada tindakan luar biasa,” beber majelis tegas.

Selain itu, majelis mengutip beberapa pendapat ahli mengapa hukuman mati diperlukan. Di antaranya:

  1. Bichon Van Yssel Mode, yang menyetujui dengan adanya hukuman mati, mengatakan antara lain ‘ancaman serta pelaksanaan hukuman mati itu harus ada dalam tiap-tiap negara dan masyarakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut kepatutan maupun dari sudut tidak dapat ditiadakannya’.
  2. Lamborso dan Garlofalo, berpendapat bahwa ‘hukuman mati adalah alat yang mutlak yang harus melenyapkan individu-individu yang tidak mungkin diperbaiki lagi dengan perkataan lain hukuman mati adalah suatu upaya yang radikal untuk meniadakan orang yang tidak dapat diperbaiki lagi, dengan adanya hukuman mati ini maka hilanglah pula kewajiban-kewajiban untuk memelihara mereka dalam penjara yang demikian besar biayanya. Begitu juga hilanglah ketakutan-ketakutan kalau orang melarikan diri dari penjara dan membuat kejahatan lagi di lingkungan masyarakat’.
  3. Oemar Seno Adji, S.H memiliki pandangan dan prinsip setuju untuk dilakukannya hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana yang sifatnya keras atau Extra Ordinary Crime seperti korupsi, narkotika, dan terorisme yang sudah jelas sangat berdampak buruk bagi peradaban kemanusiaan.

“Dalam perkara a quo, Terdakwa dituntut oleh Penuntut Umum dengan pidana mati di mana majelis hakim sependapat dengan tuntutan Penuntut umum dikarenakan narkotika hendak diedarkan Oleh Terdakwa dalam jumlah besar dan kejahatan Narkotika di Indonesia sendiri tergolong sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan membutuhkan ketegasan dalam penindakannya, mengingat efek yang ditimbulkan tidak hanya kepada para pemakai atau penyalahgunaan saja, namun dapat mengancam keselamatan bangsa dan negara,” ungkap majelis hakim.

Majelis menilai, pidana mati di Indonesia masih terus menjadi bahan perdebatan kendati hukuman berupa pidana mati telah tercantum dalam positif. Perdebatan muncul lantaran pidana mati menyangkut nyawa manusia dan merupakan vonis paling menakutkan dan dianggap paling menjerakan dibanding vonis hukuman lainnya.

“Bahwa untuk menyikapi suara publik yang terus menyuarakan hukuman mati itu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) maka pertama hal yang mendasar adalah antara hak asasi manusia dengan kewajiban asasi manusia itu seharusnya sama. Kedua, bahwa pada dasarnya, hukuman mati merupakan salah satu sanksi pidana yang masih berlaku di negara Indonesia. Ini artinya bahwa penerapan hukuman mati masih diperbolehkan khusus bagi tindak pidana tertentu, seperti pembunuhan berencana, terorisme, korupsi, termasuk kejahatan narkotika, sebagaimana terdapat dalam undang-undang yang berlaku (hukum positif) di Indonesia,” demikian alasan hakim setuju hukuman mati.

Dalam keadaan darurat narkoba seperti sekarang ini, kata majelis, ketika kejahatan narkoba telah merusak generasi muda dan merampas hak hidup banyak manusia di Indonesia.

“Jadi sangat adil jika hukuman mati juga diterapkan untuk memberi peringatan keras bagi para pelaku Narkotika dengan ketentuan hanya dijatuhkan pada bentuk kejahatan narkotika yang paling berat seperti memproduksi dan pengedar narkoba,” beber majelis.

Apalagi saat ini Hanafi sedang menjalani pidana penjara selama 15 tahun atas tindak pidana serupa. Seharusnya Hanafi memperbaiki perilakunya dan tidak mengulangi perbuatannya serta menginsafi kesalahannya.

“Namun hal tersebut malah dipergunakan oleh Terdakwa untuk kembali melakukan perbuatannya tersebut sehingga majelis hakim menilai perilaku dan karakter Terdakwa sudah tidak bisa diperbaiki lagi,” ungkap majelis.

Tindak pidana narkotika sangat berpotensi merusak moral dan kesehatan banyak orang yang memakainya.

“Penjatuhan pidana juga harus memperhatikan aspek pencegahan bagi masyarakat lainnya agar tidak melakukan perbuatan serupa. Dan oleh karena Terdakwa sudah melakukan peredaran Narkotika dalam jumlah yang besar lebih dari satu kali, maka sudah sepatutnya Terdakwa dijatuhi pidana maksimal sebagaimana Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Narkotika,” kata majelis tegas.

Dalam pertimbangan majelis, hal yang memberatkan Hanafi di antaranya menjadi otak penyelundupan secara terorganisir serta terlibat langsung dengan jaringan internasional.

“Perbuatan Terdakwa dilakukan dari dalam Lembaga Pemasyarakatan, tempat di mana Terdakwa seharusnya sadar dan merenungi diri untuk berbuat baik di masa yang akan datang, tetapi Terdakwa justru terus melakukan tindak pidana narkotika. Keadaan yang meringankan tidak ada,” pungkas majelis.

Exit mobile version