Home Pustaka Mengenal Harta Bersama dan Harta Bawaan dalam Perkawinan

Mengenal Harta Bersama dan Harta Bawaan dalam Perkawinan

Mengenal Harta Bersama dan Harta Bawaan dalam Perkawinan -- Doc. Antar Foto/Sumber

Majalahukum.com – Urusan rumah tangga bukan hanya diisi oleh kebahagiaan semata. Ada begitu banyak rintangan dan cobaan yang harus dijalani oleh pasangan suami istri selama menjalani bahtera rumah tangga.

Beberapa pasangan mungkin ada yang mengakhiri kisah cintanya karena berbagai faktor, termasuk masalah ekonomi yang sulit selama pernikahan. Jika himpitan ekonomi menjadi alasannya, lalu istri meminjam uang atau berutang menjadi salah satu solusinya. Lantas, apakah bisa menjadi tanggung jawab suami juga?

Dalam perkawinan, dikenal dengan adanya harta bersama dan harta bawaan.

Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Dalam harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Penggunaan harta bersama harus dilakukan atas persetujuan pasangan, kecuali bila mengenai harta bersama diperjanjikan lain dalam perjanjian kawin sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan jo Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 yang menerangkan ketentuan berikut:

  • Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut;
  • Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan;
  • Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan;
  • Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.

Selanjutnya, adapun harta bawaan yaitu harta yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri sebelum perkawinan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, dan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang suami dan istri tidak menentukan lain. Atas harta bawaan ini, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum.

Dalam buku Pokok-Pokok Hukum Perdata (Subekti hal.34) membedakan utang menjadi dua macam yaitu utang pribadi (utang prive) dan utang persatuan (suatu utang untuk keperluan bersama).

Menurut Subekti, untuk suatu utang pribadi harus dituntut suami atau istri yang membuat utang tersebut, sedangkan yang harus disita pertama-tama adalah benda prive (benda pribadi). Apabila tidak terdapat benda pribadi atau ada tetapi tidak mencukupi, maka dapatlah benda bersama disita juga.

Akan tetapi, jika itu adalah utang suami, benda pribadi istri tidak dapat disita, dan begitu pula sebaliknya.

Sedangkan untuk utang persatuan, yang pertama-tama harus disita adalah benda gemeenschap (benda bersama) dan apabila tidak mencukupi, maka benda pribadi suami atau istri yang membuat utang itu disita pula.

Utang pribadi yang bisa dimintai pelunasannya dari harta bersama adalah utang pribadi yang berasal dari perjanjian utang piutang dengan persetujuan pasangan. Ini merupakan hal yang logis karena utang yang dibuat oleh suami/istri dapat berdampak pada harta bersama apabila utang tersebut tidak dapat dilunasi, dan untuk bertindak atas harta bersama diperlukan persetujuan pasangan.

Oleh karena itu, utang yang dibuat oleh istri tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan suami, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada harta suami (utang pribadi tidak dapat diambil pelunasannya dari harta pribadi pasangan), dan tidak dapat diambil pelunasannya dari harta bersama (akibat tidak adanya persetujuan).

Exit mobile version