Dalam Konstitusi ditegaskan bahwa negara indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Dalam paham negara hukum itu, hukumlah yang memegang komando tertinggi dalam penyelengaraan negara. Jadi sesungguhnya yang memimpin dalam penyelenggaraan negara itu adalah hukum itu sendiri[1]. Pada dasarnya, doktrin rule of law adalah konsep negara hukum yang berarti hukum memegang kedudukan tertinggi dalam penyelenggaraan suatu negara.
Istilah negara hukum secara jelas dan tegas dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Menurut julius stahl yang mana konsep negara hukum disebutnya dengan istilah rechtsstaat itu mencakup empat elemen yang salah satunya adalah perlindungan Hak Asasi Manusia[2]. Negara hukum meletakkan posisi HAM sebagai harkat dan martabat manusia yang tidak dapat diambil maupun dirampas, melainkan harus dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan terhadap manusia.
Mengutip pasal 28 D ayat 1 UUD 1945, dinyatakan secara tegas bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hal ini dimaknai bahwa setiap orang, baik kaya maupun miskin maupun perbedaan yang lain harus diperlakukan secara adil dan sama di mata hukum.
Namun tak jarang dalam proses penanganan kasus masih terdapat perbedaan implementasi hukum di masyarakat, terlebih bagi mereka para rakyat kurang mampu. Dalam implementasinya ada yang diberlakukan secara adil dan sama dalam apapun prosesnya. Tapi juga ada kemungkinan potensi-potensi rawan terjadinya perampasan hak-hak keadilan serta perlakuan yang kurang adil di dalam proses-proses peradilan.
Prinsip negara hukum sebagaimana diuraikan tentu mememerlukan peran Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam pendampingan hukum dalam rangka penegakan hukum, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan seorang Advokat dalam menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha sosialisasi pada masyarakat agar masyarakat menyadari hak-hak fundamental mereka didepan hukum.
Dalam kedudukannya sebagai advokat, suatu profesi yang mulia (officium nobile), maka pemberian bantuan hukum tentunya merupakan kewajiban yang melekat secara hukum kepada setiap advokat. Pemberian bantuan hukum oleh advokat bukan hanya dipandang sebagai suatu kewajiban semata namun harus dipandang pula sebagai bagian dari kontribusi dan tanggungjawab sosial dalam kaitannya dengan kedudukan advokat sebagai officium nobile atas kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma[3].
Namun dalam penerapannya, didapati ada berbagai kendala dalam pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma yang dilakukan para advokat hususnya di wilayah kerja DPC Peradi Makassar, padahal penanganan kasus Pro Bono merupakan amanat peraturan perundang-undangan salah satunya yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menegaskan kewajiban advokat memberi bantuan hukum secara cuma-cuma bagi mereka yang tidak mampu. Belum semua advokat melakukan hal itu, meskipun pro bono adalah kewajiban yang melekat kepada setiap individu advokat.
Advokat yang menangani kasus pro bono, atau kasus tanpa bayaran, dapat menghadapi beberapa kendala dalam implementasinya, salah satu diantara berbagai kendala tersebut yakni sumber daya terbatas, artinya Advokat mungkin harus mengorbankan waktu dan sumber daya mereka sendiri untuk menangani kasus pro bono, yang dapat menjadi beban tambahan jika mereka memiliki kasus berbayar lainnya.
Ketika seorang yang mampu mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk seorang atau lebih advokat untuk membela kepentingannya. Demikian juga seorang yang tergolong tidak mampu (the have not) dapat meminta pembelaan dari seorang atau lebih pembela umum (public defender) dari lembaga bantuan hukum (legal aid institute) untuk membela kepentingannya dalam suatu perkara hukum. Tidak adil bilamana orang yang mampu saja yang dibela oleh advokat dalam menghadapi masalah hukum, sedang fakir miskin tidak memperoleh pembelaan karena tidak sanggup membayar jasa seorang advokat.[4]
Pelayanan hukum yang dilakukan untuk kepentingan umum atau pihak yang tidak mampu tanpa dipungut biaya yang dikenal dengan istilah pro bono. Pro bono adalah suatu perbuatan atau pelayanan hukum yang dilakukan untuk kepentingan umum atau pihak yang tidak mampu tanpa dipungut biaya. Dalam buku Kamus Istilah Hukum menerangkan bahwa secara harfiah, pro bono artinya demi kebaikan.
Pro bono juga diartikan sebagai A latin term meaning for the public good. It is the provision of services that are free to safeguard public interest. Jika diterjemahkan, pro bono berarti suatu istilah latin yang berarti “untuk kepentingan umum”, berupa penyediaan layanan yang gratis untuk kepentingan umum. Menurut KBBI adalah bantuan hukum yang diberikan secara cuma-cuma kepada seseorang yang tersangkut kasus hukum, tetapi orang tersebut tidak mampu membayar jasa pengacara sendiri. Pihak yang wajib memberikan layanan pro bono ini adalah pengacara atau advokat.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 ayat :
- Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
- Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.[5]
Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma atau pro bono oleh advokat memiliki dasar hukum yang sangat jelas yaitu:
- Undang-Undang Dasar 1945, dalam pasal 28D ayat 1 setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menegaskan bahwa Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma oleh Advokat bukan merupakan belas kasihan, tetapi lebih kepada penghargaan terhadap hak asasi manusia dalam mewujudkan keadilan dalam masyarakat.
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Disebutkan dalam bab 1 ketentuan umum bahwa Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-Cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.
- Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Disebutkan dalam pasal 1 bahwa Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.
- Kode Etik Advokat Indonesia.
Kode etik profesi advokat merupakan dokumen etik yang menjabarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang diharapkan dipatuhi oleh anggota profesi advokat untuk menjaga profesionalisme dan integritasnya. Kode etik ini adalah sebuah aturan yang dirancang untuk melindungi profesi advokat, dan memberikan panduan tentang bagaimana advokat harus bertindak dalam hubungannya dengan klien mereka, satu sama lain, dan masyarakat pada umumnya.
Kode etik profesi advokat mengatur tentang apa yang harus dilakukan advokat ketika mewakili kliennya dalam suatu sengketa atau perkara hukum. Para profesional ini memiliki kewajiban untuk jujur dengan klien mereka dan tidak menyesatkan mereka tentang detail apa pun. Mereka juga perlu mengedepankan keadilan dan menghormati semua pihak yang terlibat dalam sengketa atau masalah hukum yang mereka tangani.
Selain itu profesi advokat memiliki kewajiban untuk menjaga kerahasiaan informasi klien. Ini berarti bahwa tidak ada orang lain yang diizinkan mengakses informasi ini tanpa izin eksplisit dari klien atau tanpa perintah pengadilan. Advokat harus jujur kepada kliennya setiap saat, termasuk tentang keterbatasan kemampuannya. Advokat tidak boleh secara sadar mengambil kasus yang tidak memenuhi syarat untuk mereka tangani, juga tidak boleh menyatakan atau menyiratkan bahwa mereka dapat memberikan layanan yang tidak diizinkan, dan menyalahi aturan yang berlaku.
Tidak hanya itu, para advokat juga dituntut untuk jujur pada diri mereka sendiri dan profesional lain yang terlibat dalam kasus tersebut, terutama jika mereka memiliki konflik kepentingan yang dapat mempengaruhi pekerjaan mereka. Mengapa? Hal ini untuk mewujudkan adanya keadilan dan rasa hormat bagi semua pihak yang terlibat dalam perselisihan atau masalah hukum.
Pemberian bantuan hukum secara cuma-Cuma oleh advokat merupakan suatu hal yang penting dan sudah menjadi tanggung jawab seorang advokat sebagai profesi yang mulia dan terhormat. Advokat berkewajiban melaksanakan penegakan hukum dalam membela kliennya haruslah memegang teguh prinsip equality before the law yakni prinsip persamaan di hadapan hukum dan prinsip presumption of innocene (asas praduga tak bersalah) berupa menganggap kliennya yang didampingi benar berdasarkan data dan informasi yang diterima oleh advokat dari kliennya. Prinsip tersebut haruslah dilakukan agar nantinya dalam proses pembelaannya, seorang advokat berani melaksanakan kewajibannya sebagai penegak hukum dengan efektif.[6]
Kalangan advokat sejatinya menjalankan profesi mulia dan terhormat alias officium nobile. Tanggungjawab luhur memberikan pembelaan tanpa pandang bulu atau diskriminasi sejatinya menjadi prinsip yang mesti dipegang setiap advokat. Pro bono bagi advokat pun menjadi kewajiban yang mesti diberikan bagi para pencari keadilan, khususnya masyarakat miskin. (Bernard Simamora).
[1] Jimly Assiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press. Jakarta, hlm. 69
[2] Agussalim Andi Gadjong, 2007, Pemerintahan Daerah: Kajian Politik Dan Hukum. Ghalia indonesia, Bogor, hlm. 27
[3] Yahman dan Nurtin Tarigan, 2019, Peran Advokat Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta, hlm. 8
[4] Frans Hendra Winarta, 2009, Pro Bono Publico Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh
Bantuan Hukum, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 1
[5] www.hukumonline.com/klinik/a/pro-bono-dan-prodeo-kamis 13 juli 2023
[6] A.A. Ngurah Bayu Kresna Wardana, Nyoman Satyayudha Dananjaya, 2022, Hak Dan Kewajiban Advokat Dalam Memberikan Bantuan Hukum Secara Pro Bono Kepada Masyarakat Kurang Mampu, Jurnal Kertha Semaya, Vol, 10 No. 3, hlm. 629-640.