JAKARTA – Indonesia Corruption Watch (ICW) angkat bicara usai Mahkamah Agung (MA) membatalkan regulasi KPU RI terkait syarat mantan terpidana, termasuk koruptor, menjadi calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2024.
Atas hasil putusan tersebut, ICW menilai, putusan tersebut membuktikan bahwa KPU RI keliru dan bobrok dalam membuat aturan.
“Putusan MA ini menggambarkan secara jelas dan terang benderang betapa bobroknya penyelenggara pemilu dalam menyusun aturan mengenai pencalonan anggota legislatif,” ujar Kurnia Ramadhana selaku peneliti ICW lewat siaran persnya, dikutip Senin (2/10/2023).
Menurut Kyrnia, putusan MA tersebut membuktikan bahwa KPU keliru dalam membuat regulasi yang memudahkan eks terpidana menjadi caleg itu. Ini juga membuktikan bahwa alasan KPU membuat aturan tersebut selama ini salah dan keliru, bahkan mengada-ada.
MA membacakan putusan atas permohonan uji materi dengan nomor perkara 28 P/HUM/2023 itu pada Jumat (29/9/2023). Permohonan tersebut diajukan oleh ICW, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan dua mantan pimpinan KPK, yakni Abraham Samad dan Saut Situmorang. Termohon adalah KPU RI.
Sebelumnya, ICW dkk. menggugat Pasal 11 ayat 6 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD, serta Pasal 18 ayat 2 PKPU Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPD. Kedua pasal serupa itu menyatakan bahwa mantan terpidana, termasuk mantan terpidana kasus korupsi, yang mendapatkan hukuman pencabutan hak politik tidak perlu melewati masa tunggu 5 tahun sejak bebas untuk bisa mencalonkan diri. Mereka boleh nyalon apabila sudah selesai menjalankan hukuman pencabutan hak politik.
ICW dkk menguji kedua pasal tersebut dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 87/PUU-XX/2022 dan 12/PUU-XXI/2023. Kedua putusan dengan amar serupa itu menyatakan bahwa eks terpidana, termasuk eks terpidana kasus korupsi, dengan ancaman lima tahun atau lebih baru boleh menjadi caleg atau calon anggota DPD setelah melewati masa tunggu 5 tahun sejak bebas murni.
Mereka menilai, pasal pengecualian bagi eks terpidana yang mendapatkan pencabutan hak politik itu bertentangan dengan dua putusan MK tersebut. Pasal pengecualian itu dinilai pula mempermudah eks koruptor menjadi caleg.
MA dalam putusannya mengabulkan gugatan ICW dkk. MA menyatakan dua pasal dalam PKPU tersebut bertentangan dengan UU Pemilu dan putusan MK. MA menyatakan kedua pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan memerintahkan KPU mencabutnya.
Peneliti ICW Kurnia melanjutkan, putusan MA ini semakin menguatkan sangkaan masyarakat bahwa aturan internal KPU memang benar-benar merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan mantan terpidana korupsi. Sebab, hak dasar masyarakat untuk mendapatkan calon berintegritas dirampas oleh KPU.
“Momentum putusan MA yang mengabulkan uji materi para Pemohon kian memperlihatkan buruknya kualitas penyelenggara Pemilu dalam menjunjung tinggi nilai-nilai integritas,” ujar Kurnia menambahkan.
Idham Holik selaku Komisioner KPU RI ketika dihubungi wartawan pada Sabtu (30/9/2023), masih bersikukuh bahwa pihaknya membuat kedua pasal tersebut mengacu pada bagian penjelasan putusan MK. Terkait tindak lanjut atas putusan MA yang memerintahkan KPU mencabut kedua pasal tersebut, Idham enggan memberikan penjelasan.
Sebab, pihaknya belum menerima salinan putusan tersebut.
“Sampai tanggal 30 September 2023, KPU belum menerima salinan Putusan MA Nomor 28 P/HUM/2023 tersebut,” ujar Idham.