JAKARTA – DPR menggelar rapat paripurna ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2023-2024. Salah satu agendanya adalah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi undang-undang.
“Apakah rancangan undang-undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” tanya Lodewijk F Paulus selaku Wakil Ketua DPR dijawab setuju oleh anggota yang hadir, Selasa (5/12/2023).
Dalam laporannya, Abdul Kharis Almasyhari selaku Wakil Ketua Komisi I menjelaskan, terdapat tujuh perubahan substansi utama dalam revisi UU ITE tersebut. Pertama adalah perubahan terhadap ketentuan Pasal 27 Ayat 1 mengenai muatan kesusilaan; Ayat 3 mengenai muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
“Dan Ayat 4 mengenai pemerasan atau pengancaman yang dengan merujuk pada ketentuan pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP,” ujar Kharis.
Kedua, perubahan ketentuan Pasal 28 Ayat 1 mengenai keterangan menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Ketiga, perubahan ketentuan Pasal 28 Ayat 2 mengenai menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, serta perbuatan yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.
Keempat, perubahan ketentuan Pasal 29 mengenai ancaman dan/atau menakut-nakuti. Lima, perubahan ketentuan Pasal 36 mengenai perbuatan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
Keenam, perubahan ketentuan Pasal 45 terkait ancaman pidana penjara dan pidana denda. Serta menambahkan ketentuan mengenai pengecualian pengenaan ketentuan pidana atas pelanggaran kesusilaan dalam Pasal 27 Ayat 1.
“Tujuh, perubahan ketentuan Pasal 45a terkait ancaman pidana atas perbuatan penyebaran berita bohong dan menyesatkan,” ujar Kharis.
Budi Arie Setiadi selaku Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada Komisi I DPR yang telah menyelesaikan pembahasan dan mengesahkan revisi UU ITE. Revisi UU ITE merupakan bentuk kesadaran pemerintah bahwa ruang digital atau siber adalah virtual meeting port.
Di mana berbagai nilai kebudayaan, kepentingan, dan hukum yang berbeda saling berinteraksi melalui berbagai platform. Interaksi nilai kebudayaan, kepentingan, dan hukum adalah satu hal yang tidak dapat dihindari di era digital seperti saat ini. Namun di sisi lain, pemerintah harus tetap mengedepankan perlindungan kepentingan umum, bangsa, dan negara.
“RUU perubahan kedua UU ITE merupakan kebijakan besar Indonesia untuk menghadirkan ruang digital Indonesia agar tetap bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan, sama seperti halnya di ruang fisik,” ujar Budi.