Home Sosialisasi DPR Resmi Sahkan RUU Kesehatan jadi Undang-Undang

DPR Resmi Sahkan RUU Kesehatan jadi Undang-Undang

DPR Resmi Sahkan RUU Kesehatan jadi Undang-Undang -- Doc.Antar Foto/Sumber

JAKARTA – Pada rapat paripurna ke-29 DPR Masa Sidang V Tahun 2022-2023, DPR mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) tentang Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law menjadi undang-undang.

“Apakah rancangan undang-undang tentang Kesehatan dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” tanya Ketua DPR Puan Maharani dijawab setuju oleh anggota DPR yang hadir, Selasa (11/7/2023).

Diketahui, terdapat 12 poin utama yang diatur dari RUU yang menggunakan metode omnibus law tersebut. Pertama adalah penguatan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pemenuhan kesehatan. Kedua, penguatan penyelenggaraan upaya kesehatan dengan mengedepankan hak masyarakat dan tanggung jawab pemerintah.

“(Tiga) Penguatan pelayanan kesehatan primer yang berfokus ke pasien, serta meningkatkan layanan di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan kepulauan, serta bagi masyarakat rentan,” ujar Emanuel Melkiade Laka Lena selaku Ketua Panja RUU Kesehatan.

Keempat, pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan untuk kemudahan akses bagi masyarakat. Selanjutnya, penyediaan tenaga medis dan tenaga kesehatan melalui peningkatan penyelenggaraan pendidikan spesialis/sub-spesialis melalui satu sistem pendidikan dengan dua mekanisme.

Enam, transparansi dalam proses registrasi dan perizinan, serta perbaikan dalam perbaikan tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara Indonesia lulusan luar negeri melalui uji kompetensi yang transparan. Tujuh, penguatan ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan melalui penyelenggaraan rantai pasok dari hulu ke hilir.

“(Delapan) Pemanfaatan teknologi kesehatan, termasuk teknologi biomedis untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan,” ujar Melki.

Poin kesembilan, penguatan dan pengintegrasian sistem informasi kesehatan. Ke-10, penguatan kedaruratan kesehatan melalui tata kelola kewaspadaan, penanggulangan, dan pasca kejadian luar biasa (KLB) dan wabah.

Ke-11, penguatan pendanaan kesehatan. Terakhir, koordinasi dan sinkronisasi kebijakan antarkementerian/lembaga dan pihak terkait untuk penguatan sistem kesehatan.

“Pembahasan RUU tentang Kesehatan telah dilakukan secara intensif, hati-hati, dan komprehensif dengan menggunakan landasan berpikir bahwa adanya urgensi penguatan sistem kesehatan nasional melalui transformasi kesehatan secara menyeluruh untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia,” ujar Melki.

Hanya dua fraksi di DPR yang menolak pengesahan RUU Kesehatan, yakni Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat Dede Yusuf Macan Effendi menjelaskan tiga alasan pihaknya menolak RUU Kesehatan disahkan menjadi undang-undang.

Salah satu alasan penolakan adalah keputusan pemerintah yang menghapuskan pengeluaran wajib atau mandatory spending untuk sektor kesehatan sebesar 5 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

“Hal tersebut semakin menunjukkan kurangnya komitmen politik negara dalam menyiapkan kesehatan yang layak, merata di seluruh negeri, dan berkeadilan di seluruh lapisan masyarakat,” ujar Dede dalam rapat paripurna, Selasa (11/7/2023).

Fraksi Partai Demokrat ingin agar mandatory spending seharusnya ditingkatkan, bukan malah dihapuskan. Sebab, besarnya anggaran untuk sektor kesehatan bertujuan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

“Mandatory spending kesehatan masih sangat diperlukan dalam rangka menjamin terpenuhinya pelayanan kesehatan masyarakat dan dalam rangka mencapai tingkat indeks pembangunan manusia,” ujar Dede.

Fraksi PKS berpandangan, RUU Kesehatan berpotensi menghilangkan lapangan kerja bagi tenaga medis dan kesehatan warga negara Indonesia (WNI). Sebab, RUU Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law mengatur pemanfaatan tenaga kesehatan dan tenaga medis warga negara asing (WNA).

“Hilangnya kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia, baik itu karena masuknya tenaga kerja asing ataupun karena hilangnya aturan yang memperbolehkan sebuah pekerjaan, tentu tidak dapat diterima,” ujar anggota Komisi IX DPR Fraksi PKS Netty Prasetiyani.

Perlu ada perlindungan terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan secara hukum. Baik untuk keselamatan, kesehatan, keamanan, serta termasuk harkat dan martabat tenaga medis dalam negeri.

Pelindungan ini sangat dibutuhkan agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan. Perlindungan dibutuhkan untuk mencegah terjadinya perundungan terhadap mereka.

“(Mengusulkan) Penambahan klausul ‘mendapatkan gaji/upah, imbalan jasa, dan tunjangan kinerja yang layak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’ pada Pasal 273 bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang telah berjuang demi kesehatan masyarakat Indonesia,” ujar Netty.

Exit mobile version